Selasa, 08 September 2009

Bahan Bakar dari Air Laut

Angkatan laut Amerika Serikat tengah melakukan eksperimen mengubah air laut menjadi bahan bakar jet. Ahli kimia AL berusaha memproses air laut menjadi hydrocarbon, setelah itu dimurnikan dan diolah kembali menjadi bahan bakar jet.

Namun para ilmuan itu harus menemukan sumber energi yang bersih untuk menghasilkan produk akhir berupa karbon netral. Proses ini meliputi pemisahan Karbon dioksida dari air dan mencampurnya dengan hidrogen. Proses pemisahan molekul air ini dilakukan dengan tenaga listrik, hingga akhirnya akan terbentuk bahan bakar hydrocarbon.

Ahli Kimia AL Amerika Serikat, Robert Dorner mengatakan, pemanfaatan CO2 ini berkaitan dengan upaya mengurangi pemanasan global. Dia menambahkan, para ahli kimia tengah berusaha memisahkan CO2 dari gas methan sehingga bisa menghasilkan lebih banyak lagi hydrocarbon.

Tapi untuk menghasilkan bahan bakar jet yang lebih ramah lingkungan perlu proses yang panjang dan justru membutuhkan energi yang lebih besar, belum lagi dana yang cukup banyak untuk melakukan percobaan. Sepertinya masih butuh waktu lama untuk mewujudkan hal ini.

Pengembangan Energi Terbarukan Masih Banyak Kendala

Anggapan bahwa Indonesia kaya energi konvensial macam batu bara, minyak dan gas perlu dikoreksi lagi. Hal ini disampaikan Koordinator Working Group on Power Sector Restructuring, Fabby Tumiwa dalam diskusi dengan Green Radio.

Menurut Fabby, data soal energi yang dimiliki pemerintah adalah data tahun 80-an dan tidak pernah diperbaharui atau diverifikasi. Selain itu semua potensi energi itu tidak semuanya bisa dimanfaatkan. Fabby mencontohkan, untuk energi panas bumi, Indonesia punya potensi hingga mencapai 27 gigawatt. Sayangnya letak energi panas bumi itu terpencar di sejumlah wilayah dan tidak semuanya dapat dimanfaatkan.

Ketika ditanya soal energi terbarukan, Fabby Tumiwa mengatakan, untuk mengandalkan mikrohidro terkendala dengan daerah aliran sungai, DAS yang rusak dan kritis.

“Kerusakan ini hampir terjadi di seluruh Jawa, dan sebagian Sumatera. Yang agak baik ada di Papua,” kata Fabby.

Sementara untuk potensi angin belum bisa diandalkan karena di negeri tropis kekuatan angin tidak begitu kencang. Di Indonesia baru bisa dikembangkan di daerah timur, yang lumayan berangin. Untuk pemanfaatan energi matahari masih terkendala dengan teknologi yang belum efisien dan relatif mahal.

Selasa, 18 Agustus 2009

Kulit Kacang Untuk Briket Energi

Edy Gunarta (35) meraih Citi Micro-Entrepreneurship Award (CMA) 2008 bagi pengusaha kecil yang diselenggarakan oleh Citi Peka sebagai penyandang dana dan UKM Center Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI). Perajin briket dari Bantul, Yogyakarta dan pengusaha makanan, pestisida dan pupuk organik ini meraih penghargaan untuk kategori kerajinan.

Edy memulai usaha kerajinan briket yang terbuat dari kulit kacang dan batang jagung dengan modal Rp 1,5 juta. Baru satu tahun merintis usaha, kini Edy telah menjangkau pasar di daerah Yogyakarta, dan sekitarnya. Dia mengandalkan promosi briket seharga Rp 2.500 per kilogram ini melalui media yang kerap bertandang ke rumahnya.
Awalnya kulit kacang dijual dengan harga yang minim sekali. Lalu pada awal 2007 Edi berinisiatif mencari cara agar kulit kacang tersebut ada nilai nominalnya.

Edi mengatakan, ide ini muncul dari pengalaman rumah tangganya yang bermula menggunakan serbuk gergaji, lalu dia mencoba mencari cara lain yaitu menggunakan kulit kacang tanah. Didukung oleh Pemerintah Desa yaitu Usaha Unit Desa yang mengadakan pelatihan-pelatihan, ia semakin mendalami potensi ini.

Edi mendapatkan pasokan kulit kacang tanah dari petani dalam bentuk kulit kacang tanah yang kering. Untuk bijinya langsung diolah ke tingkat yang lebih tinggi, dan kulitnya dibuat bahan baku briket.

Untuk perekatnya, Edi menggunakan tepung tapioka dengan perbandingan 1 : 10. Diawali proses pengarangan, lalu kulit ditepung, digiling menjadi serbuk, lalu dicampur dengan adonan, dan proses terakhir adalah dipres sesuai dengan bentuk yang diinginkan.

Menurut Edi, keistimewaan menggunakan briket ini adalah jelaga rumah tangga tidak hitam tapi putih, praktis, mudah dipindah ke mana-mana, lebih murah daripada briket batubara. Untuk memasak 2 liter air dengan durasi masak 11-12 menit, lebih cepat 2-3 menit dengan minyak tanah atau arang biasa.

Untuk pasokan kulit kacang, Edi mempunyai dua titik penggilingan dan di wiliyah Bantul ada lima titik penggilingan untuk pengupasan kacang tanah. Limbah penggilingannya bisa dijadikan bahan baku briket.

Untuk tenaga kerjanya, Edi mempekerjakan pemuda-pemuda dari daerah sekitarnya yang sudah putus sekolah ataupun pengangguran. Ia menjadikan mereka sebagai relasi untuk dapat bekerja sama. Tujuannya untuk meningkatkan sumber daya manusia sekaligus membuka lapangan pekerjaan. Sungguh suatu ide yang cemerlang.

Medco Energy Mengembangkan Bio-Ethanol

Produktifitasnya ditargetkan mencapai 180 kilo liter perhari, atau sekitar 60 ribu kilo liter pertahun. Pabrik itu diharapkan menjadi alternatif energi terbarukan, yang ramah lingkungan.

Menurut Djatnika S Puradinata, Presiden Komisaris Medco Energy Chemicals, bio-ethanol bisa dimanfaatkan 100% sebagai bahan bakar, ataupun dicampur dengan bahan bakar fosil, seperti bensin dan solar.

Hal itu disampaikan oleh Djatnika saat membahas bio-ethanol di acara Green Talk, 89.2 FM Green Radio.

GR (Green Radio): Apa itu bahan bio-ethanol?

DJ (Djatnika): bio-ethanol sama dengan alkohol, berbahan kimia. Disebut bio-ethanol karena bahan bakunya berasal dari bahan biologi, seperti singkong, jagung, tebu dan lain-lain. bio-ethanol dapat meningkatkan oktan number dari bensin, sehingga lebih ramah lingkungan dibandingkan penggunaan bensin secara langsung. Artinya, CO2 yang dihasilkan dari bio-ethanol akan lebih rendah dari emisi yang dikeluarkan bensin dan solar.

GR: Penggunaan bio-ethanol di kendaraan?

DJ: Saat ini, pemerintah mengharuskan pencampuran bio-ethanol ke bahan bakar. Jumlahnya yaitu 1% ke dalam bensin, dan 5% dalam solar. Tidak hanya untuk campuran, bio-ethanol pun bisa digunakan semuanya sebagai bahan bakar. Hal itulah yang membuat unik bio-ethanol.

Namun di Indonesia, pelaksanaan 100% bio-ethanol sebagai bahan bakar belum siap. Berbeda di Brazil, yang sudah menggunakan 100% bio-ethanol dengan memodifikasi kendaraan terlebih dahulu.

GR: Apa kelebihan menggunakan bio-ethanol 100%?

DJ: Segi pembuatan akan lebih murah karena produksinya pun semakin banyak. Hal itu akan berdampak harga untuk dibeli warga pun akan menjadi murah. Hal itu terjadi di Brazil, harga jual bio-ethanol 100% lebih murah dibandingkan bio-ethanol yang dicampur.

GR: Mengapa Medco tertarik mengembangkan bio-ethanol?

DJ: Bio-ethanol berasal dari sumber daya alam yang dapat diperbarui, kebalikan dari bahan bakar fosil. Bahan baku bio-ethanol pun berlimpah di Indonesia, seperti jagung, tebu, singkong, sagu, hingga nira. Yang dikembangkan oleh Medco berasal dari singkong.

GR: Lalu, apa yang sedang dipersiapkan Medco?

DJ: Kami sedang membuat pabrik bio-ethanol, berkapasitas 180 kilo liter perhari atau 60 ribu kilo liter pertahun, di Kota Bumi, Lampung Utara. Pemilihan tempat ini karena disana berlimpah ribuan hektar tanaman singkong.

GR: Penggunaan singkong seperti apa?

DJ: Kami mengembangkan singkong yang bobotnya bisa mencapai 30 kg per satuannya. Singkong olahan tersebut dipilih agar tidak mengganggu singkong untuk pangan warga. Meskipun singkong untuk pangan warga itu bisa menjadi bahan baku bio-ethanol.

GR: Penyediaan singkong itu dari Medco saja atau dari petani?

DJ: Kita bermitra dengan petani yang ada, artinya kita menampung singkong dari mereka. Medco membantu agar pasokan singkong tetap stabil. Caranya dengan membantu menyediakan bibit, penyuluhan ke warga bagaimana cara menanam yang baik, memberi pupuk, hingga proses panennya. Semuanya dilakukan agar petani mampu menghasilkan singkong yang baik.

GR: Proses pembuatan bio-ethanol-nya ramah lingkungan, tidak?

DJ: Tentu saja. Semua tahapan pembuatannya memperhatikan hal itu. Mulai dari proses fermentasi, limbahnya dimanfaatkan jadi pupuk, dikeringkan jadi pakan ternak, hingga dijadikan energi lagi bila dibakar. Bahkan gas metan yang dihasilkan dari proses fermentasi itu kita gunakan untuk turbin menggerakan listrik. Sebisa mungkin Medco akan meminimalisir limbah tersebut.

GR: Bagaimana dengan harga?

DJ: saat ini, biaya produksi masih ada di atas harga penjualan bensin. Sehingga pemerintah, dalam hal ini Dirjen Migas, merencanakan memberikan subsidi pada bahan bakar bio-ethanol. Hal ini terkait suppy-demand yang masih kecil, meskipun pabrik Medco saat ini terbesar di Indonesia. Angka itu cukup kecil bila dibandingkan di Brazil yang telah mencapai produksi 100rb kilo liter pertahun. Bahkan Brazil siap membangun pabrik berkapasitas lebih dari 400 ribu kilo pertahun. Limpahan kapasitas itu membuat harga bio-ethanol terjangkau.

GR: Ada rencana mengembangkan pabrik bio-ethanol di Papua?

DJ: Iya, kami akan membangun pabrik yang lebih besar disana. Hal itu untuk menekan biaya produksi lebih rendah. Bahan baku yang dipakai adalah tebu dan sorgum. Keduanya memiliki potensi sumber energi lainnya yang bisa dimanfaatkan. Sorgum menghasilkan buah yang juga menghasilkan bio-ethanol. Begitu pula tebu, dari proses olahan, tebu menghasilkan bagas atau sisa perasan tebu. Sisa tebu itu dapat menghasilkan listrik dari uap bagas itu.

Diyakini Indonesia bisa menjadi sumber energi terbarukan yang besar, dan menyaingi Brazil. Hal itu bisa tercapai selama Indonesia bisa mengelola sumber daya manusia, potensi alam dan teknologi.

Jumat, 14 Agustus 2009

Aren Sebuah Jawaban Krisis Energi atau Pesaing Kebutuhan Makanan???

Pada Selasa 6 Desember lalu Kementrian Negara Riset dan Teknologi mengadakan Workshop yang bertajuk Budidaya dan Pemanfaatan Aren Untuk Bahan Pangan dan Energi, workshop ini diikuti oleh para peneliti dan praktisi aren dan energi terbarukan, akademisi dari berbagai universitas, serta berbagai departemen baik pusat maupun daerah diseluruh Indonesia, sementa untuk pembicara terdiri dari akademisi, dan ahli energi terbarukan serta praktisi, pengusaha dan pengembang bio ethanol maupun petani dan pengrajin gula aren.

David Alloreung Pembicara kunci yang merupakan Peneliti pada Puslitbang Tanaman Perkebunan, Departemen Pertanian dalam pemaparanya menjelaskan bahwa aren merupakan tanaman serba guna yang mempunyai potesi besar dalam bahan subtitusi pembuat gula maupun bioethanol, sayangnya sampai saat ini pohon aren yang tumbuh di Indonesia sebagian besar merupakan pohon yang umumnya tumbuh secara liar serta sampai saat ini belum ada penelitian yang memadai tentang pohon aren unggul.

Aren (Arenga pinnata Merr) adalah salah satu keluarga palma yang serbaguna, dapat tumbuh pada ketinggian 0-1500 meter di atas permukaan laut. Sekalipun lebih dikenal sebagai tanaman hutan, aren telah mulai dibudidayakan secara baik oleh suku Batak Toba sejak awal tahun 1900. Tanaman ini tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia pada berbagai kondisi agroekososistem. Penyebaran pertumbuhan aren umumnya berlangsung secara alamiah. Di beberapa tempat, terutama yang memiliki kebiasaan membuat gula atau mengonsumsi minuman beralkohol, aren sudah sering ditanam secara sengaja, meskipun umumnya sebagai tanaman pinggiran atau tanaman sela di antara tanaman pepohonan yang sudah ada. Meskipun para petani penderes mengakui bahwa gula yang dihasilkan dari nira aren sangat menolong ekonomi mereka, perhatian pemerintah terhadap upaya pengembangan tanaman ini sangat terbatas dan tidak konsisten. Hal yang sama dijumpai pada lembaga-lembaga penelitian, penelitian tanaman aren umumnya dilakukan secara insidentil.

Berkaitan dengan sumber energi terbarukan, yang sudah lama disuarakan, kita ternyata tidak memberikan respons secara cepat. Krisis energi di akhir 2005 yang dibarengi dengan fenomena kekacauan iklim telah berhasil memicu kesadaran semua pihak untuk mengembangkan energi terbarukan dan lebih ramah lingkungan. Dalam konteks ini, aren memiliki potensi yang sangat besar sebagai sumber utama bioenergi yang ramah lingkungan di samping sebagai penghasil pangan dan tanaman konservasi.

Kebutuhan bahan bakar premium terus meningkat sejalan dengan kemajuan di bidang ekonomi dan impor meningkat tajam dari sekitar 0.5 juta pada tahun 1998 menjadi sekitar 6 juta KL pada tahun 2004 ketika kebutuhan bahanbakar jenis ini telah mencapai 17 juta KL/tahun. Jika digunakan campuran alkohol sebesar 10 % berarti kebutuhan alkohol akan mencapai 1.7 juta Kl/tahun atau sekitar 4.6 juta liter/hari. Masalahnya adalah hampir sama sumber bahan baku biofuel bersaing dengan kebutuhan pangan di samping persaingan pemanfaatan lahan untuk menghasilkan bioenergi. Dalam konteks ini, aren dapat berperan sebagai salah satu sumber bioenergi yang penting mengingat produktivitasnya yang sangat tinggi sehingga hemat pemakaian lahan. Disamping itu, dapat ditanam di antara tanaman yang sudah ada atau sebagai komponen tanaman untuk reboisasi atau penghijauan sehingga tidak bersaing dengan komoditas pangan.

Tanaman aren memiliki daya adaptasi terhadap berbagai kondisi lahan dan agroklimat, memiliki toleransi yang tinggi dalam pertanaman campuran termasuk dengan tanaman kayu, tumbuh relatif cepat serta memiliki perakaran dan tajuk yang lebat sehingga sangat cocok untuk tujuan konservasi tanah dan air, merupakan tanaman serbaguna karena hampir semua bagiannya bernilai ekonomi dan tidak membutuhkan pemeliharaan intensif sehingga cocok bagi petani miskin di lahan marginal. Tanaman aren juga menghasilkan biomas di atas tanah yang sangat besar satu hingga 2 ton/pohon, sehingga dapat berperan penting dalam CO2 sequestration.

Sumber: http://kebunaren.blogspot.com/Desember 25, 2008

Aren Sangat Potensial Menghasilkan Biofuel dibanding yang Lain

Tanaman aren (Arenga Pinnata) sangat potensial menghasilkan biofuel (bahan bakar nabati) dan perlu dikembangkan sebagai perkebunan besar seperti halnya kelapa sawit atau jarak pagar.

“Kelebihan tanaman aren ini bisa dipanen setiap hari sepanjang tahun, menghasilkan lebih banyak dan cepat bahan bakar dibanding tanaman lain,” kata Kepala Bagian Jasa Iptek Puslit Kimia LIPI Dr Hery Haeruddin di Jakarta, Senin.

Pohon aren, ujarnya, tidak seperti tanaman lain penghasil bioethanol (bahan bakar pengganti bensin) yaitu singkong yang memiliki masa panen enam bulan atau tebu tiga bulan untuk sekali panen saja serta keterbatasan lainnya. Aren, lanjut dia, bisa dipanen terus-menerus di mana setiap satu pohon aren bisa menghasilkan nira 1-20 liter per hari yang 10 persennya bisa diproses menjadi ethanol.

“Setiap hektar bisa ditanami 75-100 pohon sehingga setiap hektar bisa menghasilkan 1.000 liter nira per hari atau sekitar 100 liter ethanol per hari. Bandingkan dengan sawit yang satu hektarnya hanya menghasilkan maksimal enam ton biodiesel per tahun,” katanya.

Pada masa lalu penanaman aren, tanaman asli Indonesia ini, sangat sulit dan hanya bisa dilakukan oleh musang, tetapi kini Puslit Biologi LIPI telah mampu membudidayakannya dan menyediakan bibitnya, ujarnya.

Dari mulai bibit hingga menjadi tanaman aren yang menghasilkan, ia akui, memerlukan 6-8 tahun, namun demikian angka itu tidak terlalu lama jika dibandingkan dengan tanaman lain seperti kelapa sawit yang memerlukan waktu 5-6 tahun untuk menghasilkan minyak sawit.

Menurut dia, getah nira yang menetes dari bunganya, lebih mudah dijadikan bioethanol dibanding dijadikan gula aren. Getahnya cukup difermentasi (diberi ragi/mikroba) lalu setelah menjadi alkohol dipisahkan dari airnya.

Tanaman aren selain bisa diproses menjadi subtitusi bensin juga baik dalam hal menyimpan air tanah serta mencegah bencana banjir dan longsor. Saat ini aren banyak ditanam antara lain di Rangkas Bitung, Cianjur Selatan, Ciamis, hingga di Sulawesi Utara.

Sumber: www.republika.co.id , 17-01-2008 10:11

Aren, Sumber Energi Terbarukan Murah

JAKARTA : Tahun ini, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menargetkan pembuatan prototipe mesin destilasi aren dengan kapasitas 200 liter/hari. Aren yang sebagian besar dikonsumsi dalam berbagai bentuk produk pangan dan minuman ini, berpotensi diolah menjadi ethanol (bahan bakar terbarukan).

“Mesin destilasi ini memiliki kemampuan operasional hingga 24 jam. Harganya cukup murah sekitar Rp 15 juta rupiah. Namun, jika dilengkapi dengan fasilitas evaporator untuk uapkan ethanol yang mampu tahan lama, bisa mencapai Rp 20 juta,” ujar Dr Arief Budiarto, peneliti Balai Etahonol BPPT Lampung saat dihubungi melalui telepon beberapa waktu lalu.

Sedangkan desain bangunan yang diperuntukkan untuk pengolahan aren, kata Arief, tergantung masing-masing kebutuhan pengusaha aren tersebut. “Semakin dekat lokasi perkebunan, maka nilai energi yang dihasilkan bisa lebih murah,” ujarnya.

Sementara itu, menurut Hari Purwanto, Asisten Deputi Program Tekno Ekonomi Kementerian Negara Riset dan Teknologi, prospek aren sebagai bahan bakar terbarukan sangat baik. “Nira aren sebagai sumber energi terbarukan masuk buku putih Ristek untuk program 2010-2015,” ujarnya.

Perkebunan aren tersebar di beberapa wilayah Indonesia, seperti Minahasa (Sulawesi Utara), Rejanglebong (Bengkulu), serta di Jawa Timur. “Sebagian diolah sebagai minuman keras, bahkan di Jawa Timur, pohonnya ditebangi untuk dibuat campuran produk bihun,” ujarnya.

Dibanding singkong, nilai energi dalam bentuk ethanol yang dihasilkan dari aren, kata Hari Purwanto, jauh lebih rendah. “ Satu hektar singkong hanya mampu memproduksi 4500 liter etahanol. Sedangkan, dari aren bisa menghasilkan 56 ton ethanol,” ujarnya.

Ethanol (Ethyl Alkohol) dengan rumus molekul adalah C2H5-OH sudah dikategorikan sebagai energi komersial. Saat ini, Brasil tercatat sebagai produsen ethanol terbesar dunia.

Perusahaan-perusahaan otomotif kini, bahkan sudah memproduksi mobil dengan bahan bakar ethanol, seperti Volkwagen AG. Mesin yang bisa memproses bahan bakar ethanol disebut Flex-Fuel, namun mesin yang menggunakan bahan bakar biasa (minimal nilai Octan 90) juga dapat dikonversi dengan bioethanol, dengan campuran premium 80% – 90%.

Campuran tersebut dapat meningkatkan nilai octan yang lebih tinggi sehingga dapat dikategorikan bahan bakar bersih lingkungan. Untuk premium, perkiraan nilai octan 88 ditambah ethanol 10% – 20% (dengan nilai octan 129) sehingga dapat menghasilkan nilai octan sekitar 91 – 93.

Sebuah perusahaan di Brasil, bahkan telah memperkenalkan pesawat terbang kecil EMB 202, yang merupakan pesawat terbang pertama di dunia menggunakan bahan bakar ethanol (Alcohol), dan saat ini lebih dari 300 pesawat terbang kecil di Brasil telah memakai ethanol sebagai bahan bakar yang terbuat dari tebu.

Ethanol saat ini berasal dari beberapa sumber, Brasil dari tebu, Amerika Serikat dari Jagung, sedangkan di Indonesia umumnya berasal dari tebu, sorghum, termasuk singkong. (Lea)

Sumber: http://www.technologyindonesia.com/02 Januari 2008

“Mengebor” Minyak di Pohon Aren

Krisis ekonomi global dan ketergantungan terhadap impor, ditambah kapasitas produksi minyak dalam negeri dari waktu ke waktu yang terus menurun, menuntut pemerintah mengembangkan bahan bakar alternatif yang lebih murah dan tentu harus ramah lingkungan.

Muncullah berbagai pilihan. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yang memiliki segudang peneliti, mulai menyebut beberapa alternatif, di antaranya mengembangkan energi biomassa, biodiesel, dan bioetanol. Guna mengikat rencana tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti BBM. Namun, peraturan ini dinilai belum cukup, karena hanya menekankan penggunaan batu bara dan gas sebagai pengganti BBM.

Pemerintah pun pada 25 Januari 2006, mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai bahan baskar lain. Sejak Inpres itu dikeluarkan, eksplorasi sumber-sumber alam alternatif dimulai. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pun hingga saat ini gencar memasyarakatkan penggunaan bahan bakar nabati untuk penghematan energi dan penyelamatan lingkungan.

Kalau kita kembali menelusuri sejarah, Rudolf Diesel, sang penemu mesin diesel, memang sejak awal merancang mesin diesel yang berbahan bakar minyak kacang. Rudolf lalu mendemonstrasikan temuannya itu dalam World’s Exhibition di Paris pada tahun 1900. Tetapi dalam perkembangannya, justru bahan bakar solar dari hasil olah minyak bumi yang banyak digunakan.

Dengan harga yang murah dan mendapat subsidi pemerintah, BBM menjadi pilihan satu-satunya, sampai akhirnya krisis global mendongkrak harga minyak ke level tertinggi dalam sejarah. Banyak pihak di negeri ini berteriak, menuntut pengembangan energi alternatif.

Yuddy Chrisnandi dalam Konvensi Calon Presiden RI 2009-2014 di Jakarta, Sabtu (7/3), mengatakan, kalau pemerintah salah mengelola, tahun 2040 minyak bumi akan habis. Calon presiden muda itu sangat cemas, bagaimana nasib bangsa ini kalau minyak bumi habis.

Marwah Daud, capres lain dari Dewan Integritas Bangsa (DIB) mengatakan, negara kita ini sangat kaya. Sumber daya alam melimpah. Tetapi kita miskin, karena pemerintah salah urus. Namun, jangan khawatir, ada banyak alternatif jika stok minyak bumi habis.
Saat ini, tegas Marwah, dirinya tengah mengembangkan bio- etanol di Garut, Jawa Barat. “Kita tidak akan jual singkong, tetapi bioetanol,” katanya.

Pemanfaatan bahan bakar nabati tentu membawa sebuah harapan besar akan terjadinya perubahan di negara ini. Selain meningkatkan devisa, pemanfaatan bahan bakar nabati juga akan membuka lapangan kerja baru dan membantu mengurangi angka kemiskinan. Selain itu, bahan bakar nabati ini juga diharap bisa mengurangi polusi udara akibat pembuangan gas dari kendaraan bermotor yang berbahan bakar minyak.

Namun, banyak pihak cemas, eksplorasi dan eksploitasi energi alternatif ini akan merusak hutan, melemahkan ketahanan pangan, dan merusak pasar domestik. Ada dua alternatif sumber biodiesel yang paling prospesktif saat ini, yakni minyak kelapa sawit dan jarak pagar. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, dibutuhkan lahan yang luas. Konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit akan membuat hutan kita rusak. Aktivis lingkungan seperti Walhi memperkirakan industri biodiesel akan mengulangi kesalahan seperti yang telah dilakukan oleh industri pulp dan kertas, karena merusak hutan.

Program bahan bakar nabati juga akan mengakibatkan naiknya harga komoditas pertanian tertentu, sebagai dampak konversi besar-besaran tanaman pangan menjadi tanaman penghasil biofuel.

Dampak lain yang tidak kalah penting adalah ancaman kegagalan menciptakan pasar domestik. Ketika konversi lahan terlaksana, hasil panen melimpah, sementara pemerintah tidak menyiapkan teknologi pengolahan yang modern, maka kita hanya akan menjadi penyedia dan pengekspor bahan baku energi alternatif ke negara-negara industri. Kalau ini yang terjadi, sia-sia upaya mencari energi alternatif.

Pohon Aren

Prabowo Subianto, calon presiden dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) menyadari betul dampak dari penerapan energi alternatif. Dalam pemaparan 8 program aksi untuk kemakmuran rakyat, di Jakarta, Selasa (10/3), ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) itu mengatakan, pihaknya telah menyiapkan program kemandirian energi.

Konsep Prabowo sederhana saja. Dia akan membuka 2 – 4 juta hektare hutan aren, dengan sistem tanam tumpang sari, untuk produksi bahan bakar etanol sebagai pengganti BBM. Pembukaan lahan ini akan menjadikan Indonesia sebagai negara pengekspor bahan bakar nabati setelah 7 tahun masa tanam. Dalam kalkulasinya, empat juta hektare hutan aren menghasilkan sekitar 56 juta mt etanol/tahun.

Mengapa pohon aren? Ide ini muncul ketika ia mengamati beberapa negara Amerika Latin yang beralih menggunakan energi alternatif, seperti Kolombia, Brasil, dan Tanzania di Afrika Timur. Setelah diselidiki, kata Prabowo, ternyata tanaman aren seluas empat juta hektare yang ada di Kolombia itu berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara. “Brasil kirim pakar ke Minahasa. Tanzania kirim menteri ke Minahasa untuk meneliti dan belajar program etanol dari aren. “Lalu Indonesia?” tanya Prabowo kecewa.

Indonesia memang kaya akan sumber alam. Bahan bakar nabati bisa dari apa saja. Kita tidak perlu lagi mengebor bumi untuk mengais sisa-sisa minyak. Saatnya mengebor minyak yang ada dari energi alternatif. Ada kelapa sawit, jarak pohon, singkong, aren, kemiri, tebu, jagung, sagu, dan sebagainya. Semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan.

Sumber: Suara Pembaruan, Jumat 13 Maret 2009: http://alumnifatek.forumotion.com/

Potensi Pengembangan Pohon Aren Di Indonesia (solusi permasalahan kemandirian energi dan lingkungan)

Program bagi-bagi uang yang digagas pemerintah sekarang tidak akan menyelesaikan masalah. Habis uang, kemiskinan tetap akan ada. Di sisi lain kita punya hutan yang menjadi paru-paru dunia, yang harus kita selamatkan. Untuk mengatasi tantangan tersebut, kami menawarkan gagasan pengembangan budi daya aren di Indonesia. Pohon Aren ini adalah sumber energi yang sangat menjanjikan. Aren ini dapat menghasilkan bermacam produk, yang ujungnya dapat dijadikan bahan bakar, etanol. Hebatnya, Pohon ini akan lebih bagus pertumbuhannya jika ditanam diantara pohon-pohon yang lain. Selain itu juga aren ini bisa menahan erosi, menambah subur tanah, mengendapkan air lebih banyak, dan menghasilkan bio etanol.

Aren merupakan tanaman yang sudah lama dimanfaatkan oleh penduduk Indonesia dengan produk utama berupa gula merah. Aren memiliki berbagai nama seperti nau, hanau, peluluk, biluluk, kabung, juk atau ijuk (aneka nama lokal di Sumatra dan (Semenanjung Malaya); kawung, taren (Sd.); akol, akel, akere, inru, indu (bahasa-bahasa di Sulawesi); moka, moke, tuwa, tuwak (di Nusa Tenggara), dan lain-lain.

Aren dapat tumbuh di daerah tropis dengan baik, namun hingga saat ini pengembangan potensi Aren di Indonesia masih sangat minim, hal ini ditunjukkan dengan minimnya teknologi pengolahan Aren, minimnya lahan Aren, produk turunan yang belum berkembang dan belum banyaknya pengelolaan Aren secara Industri di Indonesia.

Nira aren di beberapa daerah selain sebagai bahan pemanis, melalui proses fermentasi, Nira diubah menjadi minuman beralkohol yang dikenal dengan nama tuak. Alkohol yang dihasilkan secara ilmiah dikenal dengan nama Etanol (Bioetanol), Nira dapat diubah menjadi bioetanol dengan bantuan fermentasi oleh bakteri ragi (Saccharomyces cereviseae) dimana kandungan gula (sukrosa) pada nira dikonversi menjadi glukosa kemudian menjadi etanol.

Nira Aren memiliki kelebihan dibandingkan dengan bahan baku bioetanol lainnya seperti singkong dan jagung (tanaman penghasil pati) dikarenakan tahap yang dilakukan cukup satu tahap saja yaitu tahap fermentasi, sedangkan bioetanol yang berasal dari tumbuhan berpati memerlukan tahap hidrolisis ringan (sakarifikasi) untuk merubah polimer pati menjadi gula sederhana.

Aren memiliki kelebihan dibandingkan dengan tebu, dimana pohon aren lebih produktif menghasilkan nira dibandingkan dengan tebu dimana produktivitasnya bisa 4-8 kali dibandingkan tebu dan rendemen gulanya 12%, sedangkan tebu rata-rata hanya 7% .

Rata-rata produksi nira aren ialah sebesar 10 liter nira/hari/pohon bahkan pada masa suburnya untuk beberapa jenis pohon Aren (Aren Genjah) satu pohon perhari dapat menghasilkan nira aren sebesar 40 liter, dengan kalkulasi sederhana jika dalam satu hektar dapat tumbuh 200 pohon Aren dan tiap harinya disadap 100 pohon maka dalam satu hari dapat menghasilkan nira aren sebesar 1000 liter/ha/hari dengan rule of thumb konversi glukosa menjadi ethanol sebesar 0,51 g ethanol/g glukosa maka dalam satu hari bioethanol perhektar yang dapat diperoleh ialah 500 liter/hari.

Dari segi penumbuhan tanaman aren tidak tidak membutuhkan pupuk untuk tumbuh sehingga Aren dapat bebas dari pestisida dan lebih ramah lingkungan, selain itu Aren dapat ditanam di daerah lereng atau perbukitan serta tahan penyakit sehingga dibandingkan dengan Tebu pengelolaan Aren jauh lebih mudah. Tanaman aren juga lebih efektif jika ditanam secara tumpang sari. Dengan metode penanaman tersebut, petani aren juga dapat menikmati penghasilan tambahan dari tanaman tumpang sari lainnya. Tumpang sari juga bisa dimanfaatkan untuk melakukan konservasi terhadap berbagai jenis tumbuhan di hutan Indonesia.

Bahan Bakar Nabati yang dihasilkan aren seperti kita ketahui merupakan bahan bakar yang ramah lingkungan, hal ini disebabkan emisi yang dikeluarkan khususnya emisi karbon sangatlah rendah, sehingga secara langsung dapat menjaga lingkungan sekitar pengguna bahan bakar dan secara tidak langsung dapat mengurangi efek dari pemanasan global (Perubahan iklim).

Selain itu pohon Aren merupakan pohon berdaun hijau, sehingga dengan menanam Aren, kita ikut serta dalam menumbuhkan paru-paru dunia dan mengurangi atau mencegah pemanasan global akibat emisi gas CO2 yang dihasilkan oleh aktivitas di bumi melalui proses fotosintesis. Dengan kondisi lingkungan yang semakin baik, kita dapat menyediakan masa depan lebih baik bagi anak-anak kita.

Pengembangan aren juga dapat menimbulkan multiplier effect dalam hal penyerapan tenaga kerja. Satu hektare perkebunan aren akan menyerap tenaga kerja sebanyak 6 orang. Jika kita membuka 4 juta Hektare perkebunan aren, maka kita dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi 24 juta orang. Belum lagi jika jumlah tersebut ditambah dengan tenaga kerja yang dibutuhkan pada industri pengolahan hingga ke pemasaran. Dengan terbukanya lapangan kerja, para ayah akan mampu menafkahi keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya.

Sumber: http://perubahanuntukrakyat.com/2009/03/11/potensi-pengembangan-pohon-aren-di-indonesia-solusi-permasalahan-kemandirian-energi-dan-lingkungan/

Prabowo Subianto: Swasembada Energi dengan Pohon Aren

Sumber: RABU, 11 MARET 2009, 14:02 WIB

Prabowo Subianto saat acara ulang tahun partai Gerindra (VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis); Indonesia tidak perlu lagi mengimpor 900 ribu barel bahan bakar tiap tahun.

VIVAnews – Prabowo Subianto melihat peluang emas dari budidaya pohon aren. Pasalnya, selain sektor pangan, Prabowo juga akan concern pada swasembada energi terbarukan, seperti pohon aren.

Dia mengatakan, pohon aren bisa menghasilkan kolang-kaling, gula aren, sagu, dan tuak. “Terpenting pohon aren bisa menghasilkan etanol,” kata calon presiden yang diusung partai Gerindra itu.

Prabowo mengatakan itu dalam diskusi Peran Pengusaha Nasional Menghadapi Krisis Global Dalam Merebut Pasar Lokal yang diselenggarakan Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) di Hotel Gran Melia Jakarta, Rabu 11 Maret 2009.

Etanol dikenal bisa mensubstitusi minyak tanah dan bahan bakar. Prabowo
memperkirakan satu hektar lahan pohon aren bisa menghasilkan 20 ton etanol per tahun. “Padahal kita punya 59 juta hektar lahan hutan yang rusak. Kalau bisa ditanami aren diselingi tanaman lain, bisa swasembada energi,” katanya.

Dengan adanya swasembada energi, Prabowo mengatakan, Indonesia tidak perlu lagi mengimpor 900 ribu barel bahan bakar tiap tahun. Karena, hanya dengan 4 juta hektar pohon aren dapat menghasilkan 80 juta ton etanol tiap tahun. Dengan asumsi satu ton bisa menghasilkan 6 barel, maka 480 juta barel dihasilkan dalam setahun.

Prabowo menjelaskan, dengan adanya swasembada energi, Indonesia tidak perlu lagi impor bahan bakar, bahkan bisa ekspor.

“Dengan asumsi 1 hektar bisa dikerjakan 6 orang, jika ada 4 juta hektar akan

mempekerjakan 24 juta orang,” katanya. • VIVAnews

Prabowo Akan Buka Empat Juta Hektare Aren

Jakarta (ANTARA News) – Calon presiden (Capres) dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto di Jakarta, Selasa, meluncurkan delapan program aksi untuk memakmuran rakyat, termasuk membuka dua juta hektare lahan sawah baru dan empat juta hektare lahan aren.

Delapan program aksi yang diluncurkan meliputi penjadwalan pembayaran utang luar negeri, menyelamatkan kekayaan negara untuk memberantas kemiskinan, melaksanakan ekonomi kerakyatan sesuai Pasal 33 UUD 1945, pemberdayaan pedesaan, memperkuat sektor usaha kecil dan memandirikan pengelolaan dan pemanfaatan energi dan sumber daya alam.

Pembukaan lahan sawah baru dan lahan untuk pohon aren itu merupakan bagian dari program ekonomi kerakyatan. Menurut Prabowo, apabila satu hektare lahan sawah baru menyerap enam tenaga kerja, maka 12 hektare lahan sawah akan menyerap 12 juta orang.

Begitu juga apabila untuk membuka satu hektare lahan aren membutuhkan enam tenaga kerja, maka untuk 4 hektare lahan aren akan mampu menyerap 24 juta tenaga kerja. Hal ini akan sangat penting untuk menyerap tenaga kerja serta memberdayakan petani.

Lahan sawah diarahkan untuk meningkatkan produksi beras nasional, sedangkan pohon aren akan sangat penting untuk kebutuhan ethanol yang bisa diolah menjadi bahan bakar.

Kebutuhan aren di dunia akan terus meningkat sering dengan meningkatnya diversifikasi bahan bakar. Pembukaan lahan aren sedang digencarkan Brazil, Kolombia dan Tanzania.

Di negara-negara tersebut, aren akan menjadi bahan baku utama bahan bakar.

Karena itu, jutaan hektare lahan aren sedang dibuka. “Bibitnya darimana? Dari Minahasa (Sulawesi Utara). Ironis kalau Indonesia mengabaikan perlunya mengembangkan pohon aren,” katanya.

Prabowo mengemukakan, selama 10 tahun terakhir, kemandirian bangsa cenderung menurun. Sektor pertanian yang semestinya menjadi andalan, justru dipinggirkan sehingga berbagai produk pertanian tidak bisa menghasilkan untuk kepentingan masyarakat maupun negara.

Indonesia hanya mampu mengandalkan ekspor produk mentah dan tidak mampu menghasilkan produk olahan. Indonesia sebenarnya produsen coklat dan karet terbesar di dunia. Tetapi pabrik coklat terbesar justru di Singapura dan Malaysia.

“Begitu juga kita kita punya pabrik pengolah karet sehingga harus mengimpor ban kendaraan,” kata Prabowo yang pada saat itu memperkenalkan tim ahlinya, termasuk mantan Dirut Pertamina Widya Purnama dan mantan staf ahli menteri pertanian Dr Rahmat Pambudi.

Prabowo mengemukakan, turunnya kemandirian bangsa selama 10 tahun terakhir menyebabkan tidak adanya akumulasi kekayaan nasional. Sebaliknya, justru terjadi aliran kekayaan ke luar negeri.

“Hal itu mengindikasikan bahwa sebenarnya tidak tercapai kesejahteraan,” katanya.

Terjadinya aliran kekayaan ke luar negeri juga akibat tidak adanya kewajiban bagi perusahaan-perusahaan asing yang mengelola sumber daya alam nasional untuk menyetorkan keuntungan kepada negara.

Padahal perusahaan-perusahaan itu menggunakan infrastruktur, listrik dan membayar tenaga kerja sesuai Upah Minimum Regional (UMR) yang murah.

“Kalau begini, siapapun yang memimpin tidak akan mampu menyejahterakan masyarakat,” katanya yang menambahkan, jika terpilih menjadi presiden maka perubahan sistem ekonomi dari kapitalis dan liberal akan dikembalikan sesuai Pasal 33 UUD 1945.

Dia menyatakan, tidak anti kapitalis apalagi dirinya dan juga kakaknya Hasim Djojohadikoesoemo juga pengusaha nasional. Tetapi mengembalikan sistem ekonomi sesuai konstitusi menjadi tanggungjawab dan tekad untuk segera diwujudkan. (*)

Sumber: http://www.antara.co.id/arc/2009/3/10/prabowo-akan-buka-empat-juta-hektare-aren/; 10/03/09 16:53


Minggu, 26 Juli 2009

Greenpeace: Stop PLTN, Tingkatkan Energi Terbarukan

Tenaga nuklir yang kerap dipakai sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) disalahpersepsikan sebagai solusi untuk perubahan iklim. Padahal ada energi terbarukan yang sangat aman dan bersih seperti sinar matahari, panas bumi, angin dan mikrohidro. Dan Indonesia baru memanfaatkan energi terbarukan ini kurang dari 5 persen.

"Lalu kenapa masih berupaya mendirikan PLTN," kata Tessa de Ryck, Juru Kampanye Nuklir Greenpeace Regional Asia Tenggara saat peluncuran Komik Nuclear Meltdown Pesan dari Kegelapan di Jakarta, Minggu (21/6).
Menurut de Ryck, satu PLTN menghasilkan limbah nuklir dengan kadar radioaktif tinggi 20 hingga 30 ton per tahun. Parahnya, sampai sekarang tidak ada cara aman untuk menyimpan limbah nuklir, sehingga limbah nuklir bertumpuk. Di seluruh dunia diperkirakan ada 250.000 ton limbah nuklir.

Lebih lanjut ia mengatakan, kalau radiasi nuklir bocor dari PLTN maka akan meradiasi sel-sel tubuh sehingga mengakibatkan kanker kelenjar, kelainan saat bayi dilahirkan, kemandulan, leukimia, mutasi gen, kardiovaskular. Pada dasarnya, ia menambahkan, tidak ada reaktor nuklir yang benar-benar aman. Semua reaktor operasional memiliki kelemahan pada sistem keselamatan dasar yang tidak dapat dihilangkan begitu saja meskipun dengan meningkatkan tingkat keamanan.

Selain itu, de Ryck memaparkan deretan kelemahan PLTN. Menurutnya sampai saat ini tidak ada solusi untuk limbah nuklir, membangun PLTN mahal mencapai 5 miliar dollar AS, jika terjadi kecelakaan akibatnya fatal, teknologi nuklir terlalu kompleks dan hanya dikuasai beberapa negara (AS, Rusia, Perancis, Jepang, Korsel dan Kanada), cadangan uranium sebagai bahan PLTN hanya terdapat di negara tertentu (Kanada, Australia, Nigeria, Kazakstan, Usbekistan), dan nuklir tidak bisa membantu perubahan iklim.

"Oleh karena itu lebih baik menggunakan sumber energi terbarukan yang aman, bersih dan jauh lebih murah. Dan yang terpenting, sumbernya ada banyak di Indonesia," ungkapnya. Namun demikian, de Ryck tidak memungkiri pemerintah melalui Badan Tenaga Atom Indonesia (BATAN) terus bergiat dengan risetnya di 3 reaktor riset nuklir.
"Mengatakan sudah berhasil meriset pada reaktor riset lalu berhasil pula pada saat PLTN dibangun, sama saja mengatakan saya bisa menjahit luka maka saya bisa mengoperasi jantung, sekalipun reaktor risetnya sebesar di Serpong," papar de Ryck, saat mengomentari para peneliti BATAN yang terus bekerja mempersiapkan PLTN.
Melihat terlalu berbahayanya PLTN dan ada begitu banyak sumber energi terbarukan yang dimiliki Indonesia, Greenpeace mendesak pemerintah Indonesia untuk meningkatkan target energi terbarukan sekaligus meningkatkan kualitas hukum dan peraturan yang selama ini menjadi batu sandungan terbesar dalam investasi di bidang energi terbarukan.

"Meningkatkan investasi bahan bakar fosil dan nuklir untuk dialihkan pada panas bumi, angin, dan matahari tidak hanya merupakan pilihan pintar untuk mengurangi emisi, tetapi juga pilihan ekonomi yang pintar," pungkas de Ryck.

source:http://sains.kompas.com/read/xml/2009/06/21/23021941/greenpeace.stop.pltn.tingkatkan.energi.terbarukan

Toak, Bisa Disulap Jadi Energi Alternatif

Toak, selama ini dikenal sebagai minuman khas dari Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Selain dikenal sebagai minuman yang bisa memabukkan peminumnya, kini toak bisa di manfaatkan sebagai bahan bakar alternatif. Hasil percobaan Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten

Tuban, meski belum mencapai hasil memuaskan, namun temuan itu cukup bermanfaat sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah.

Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tuban, Muji Slamet Kamis (16/7) menyatakan saat ini, timnya sedang melakukan penelitian akhir tentang bahan bakar alternatif berbahan baku toak. Hasil fermentasi sari bunga pohon siwalan ini, ternyata mampu m enghasilkan bahan ethanol bermutu tinggi.

Agar menghasilkan cairan ethanol yang bermutu tinggi harus menggunakan toak basi atau toak yang difermentasi mengunakan ragi. Lalu, toak yang telah disimpan di tempat tertutup selama tujuh hari disuling melalui pemanasan. Pemanasan toak ini di lakukan h ingga mendidih, kata Muji.

Hasil penguapan toak basi ini disalurkan melalui pipa yang di rendam ke dalam air dingin. Pendinginan disebut sebagai proses penyulingan menghasilkan ethanol yang dipakai sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak tanah.
Kandungan ethanol dalam olahan toak ini cukup tinggi hingga mencapai 90 persen. Ethanol ini kemudian diuji kualitasnya dengan cara membakarnya. Hasilnya cukup luar biasa, ethanol yang di bakar mampu menghasilkan api dengan menyala biru dengan jangka wakt u yang lama, katanya.

Penelitian dan percobaan bahan bakar dari toak ini dilakukan sebanyak lima kali dalam kurun waktu selama satu bulan terakhir. Namun hasilnya masih perlu diuji untuk mencapai biaya produksi yang efisien untuk diproduksi oleh masyarakat. Meski telah berhasi l masih terus dilakukan pengembangan atas penemuan itu. Rencananya akan dilakukan penelitian dan percobaan penggunaan tenaga surya atau tenaga angin sebagai bahan pemanas tungku dalam proses penyulingan toak menjadi ethanol, kata Muji.

Menurut dia rutinitas memanjat pohon siwalan merupakan aktifitas yang tak asing lagi bagi masyarakat Kabupaten Tuban. Dari pohon siwalan ini tidak hanya bisa dimanfaatkan buahnya, sebagai bahan dawet atau dibuat legen siwalan. Sari bunga dari pohon ini ya ng biasa di sebut toak juga dapat dikonsumsi sebagai minuman layaknya minuman keras karena bisa memabukkan. Kini ditemukan toak bisa jadi bahan bakar cukup membanggakan, katanya.

sumber:http://sains.kompas.com/read/xml/2009/07/16/19042888/toak.bisa.disulap.jadi.energi.alternatif.

Rabu, 22 Juli 2009

by Jennifer Kho, Contributor
California, United States [RenewableEnergyWorld.com]


At first glance, it might look like oil companies are pulling out of renewables. At the end of June, BP closed its alternative-energy headquarters. The oil company also has cut its alternative-energy budget and closed several solar factories in Spain. And that's after Shell sold off most of its solar business at the end of 2007. But while solar might not have been the best fit for the petroleum industry, analysts say that oil companies might be better-positioned in renewable fuels – and are seeing some obvious signs of movement into the area.
"My gut [feeling] is that oil companies understand that, at some point, they've got to get into renewables."-- Michael Butler, CEO, Cascadia Capital


One of the biggest is ExxonMobil's announcement last week that it will invest more than $600 million in algae-based biofuels, with more than $300 million going to Synthetic Genomics. Of course, oil companies have previously invested at the research level, such as when BP announced it would invest $500 million — over a decade — in a research consortium led by the University of California at Berkeley in 2007. But Michael Butler, CEO of investment bank Cascadia Capital, said that starting last fall, about when the economic downturn began, he began seeing more activity in the business of renewable fuels as well.


Some examples? U.S. oil company Valero Energy Corp. in March won court approval to buy seven ethanol plants — and one partially completed plant — from VeraSun Energy Corp. Earlier this month, Redmond, Wash.-based Prometheus Energy, which converts waste methane into liquid natural gas, said it raised $20 million from the Shell Technology Ventures Fund and Black River Asset Management, a subsidiary of the agricultural giant Cargill. And in February, Conoco opened an ethanol fuel-blending station in Kansas in partnership with ICM, Poet and Crescent Oil. Conoco and Tyson Foods in May suspended plans for a plant that would have made biodiesel from animal fat, but DTN Research analyst Rick Kment said Conoco is considering buying a biofuel plant on the East Coast.


One reason for these investments is that the recession — along with the hard times for the ethanol and biodiesel industry — has led to great deals for biofuel assets, Kment said. Valero was able to acquire VeraSun assets for a mere 30 percent of the estimated cost of building the plants, and similar opportunities may be available. In February, Archer Daniel Midlands told analysts that nearly 21 percent of U.S. ethanol production capacity had been shut down, meaning that plenty of defunct assets could be up for grabs.


Kment said he expects to see more examples of oil companies buying ethanol and biofuel plants to meet that standard. After all, the renewable fuel standard calls for 36 billion gallons of biofuel to be blended into transportation fuels by 2022, up from 9 billion gallons last year. At today's low prices, it makes sense for blenders to buy biofuel assets as a hedge against higher prices in the future, Kment said. "At this point, companies are looking at this as economical and a good investment," he said. "The value of these plants are at nickels or dimes on the dollar, so [oil companies] have an opportunity to lock up a portion of their blending needs of biofuels … and hedge their overall cost in case the overall supply becomes tighter in the future."


Kment sees oil companies spending more money at the asset-acquisition level than at the startup stage. But even those smaller startup investments represent a significant trend at a time when many venture capitalists and private-equity investors are pulling back, Butler said. "They're filling a void in the marketplace," he said. "Oil companies have the [technological expertise] to get really deep into this technology. So they can afford to take these bets and take on some of this risk."


Many renewable-fuel technologies have turned out to be harder to fully commercialize than startups expect. (It took Prometheus Energy, for example, an extra 1-plus year to get up and running. The company was delisted from the London AIM exchange last year, before scoring its funding round.) But even though financial investors have been burned by the significant amount of capital and secure distribution channels that it takes to make biofuels successful, those same factors could give oil companies an edge, Butler said. In fact, several of his clients are currently in discussions with big oil and gas companies. "It's just a natural fit," he said. "Big companies bring the distribution and [scale], and startups bring the technology and the innovation."


In any case, all the investments signify that the petroleum industry "really looks at biofuels as a stable part of the industry," Kment said. "Whether they like it or appreciate it or not, they see it as being part of the [fuels] industry and one of the things needed to [do business] in the United States."


Butler agrees that it's a milestone for biofuels. "My gut [feeling] is that oil companies understand that, at some point, they've got to get into renewables," he said. "I'm not really sure they’re going to develop the products in their own companies, so it probably makes more sense for them to go outside. If the technology ends up working, this could be very, very synergistic."


The trend of oil companies expanding from buying to also producing biofuels could significantly grow the industry, analysts said. Renewable fuels is certainly a better fit for oil companies than solar power, said Ron Pernick, a principal at research firm Clean Edge. "They didn't know [solar] manufacturing, didn't have the distribution channels for something like a solar panel — it didn't fit their gestalt or their DNA," he said.


Alternative fuels could make far more sense because they tie more closely to oil and gas companies' core business, he added. "Here is a business where a lot of biofuel tech companies have tried and failed, and maybe that wasn't the right fit for them," he said. "I think if anyone can crack this nut, it's probably the chemical and oil and gas guys."


Freelancer Jennifer Kho has been covering green technology since 2004, when she was a reporter at Red Herring magazine. She has more than nine years of reporting experience, most recently serving as the editor of Greentech Media. Her stories have appeared in such publications as The Wall Street Journal, the Los Angeles Times, BusinessWeek.com, CNN.com, Earth2Tech, Cleantechnica, MIT's Technology Review, and TheStreet.com.

Rabu, 15 Juli 2009

Can Cleantech Entrepreneurs Rely on Venture Capital?

by Stephen Lacey, Staff Writer
New York, United States [RenewableEnergyWorld.com]


After a two-quarter period of falling venture capital investments in the cleantech space, the industry is finally picking back up again. But the prospects for early-stage companies and entrepreneurs looking for funding is mixed.


"It's a challenge for the venture community to have the conviction to truly invest in the kind of venture-backed profile deals that we need and not invest in another 'me-too' deal that is defining today."-- Ira Ehrenpreis, General Partner, Technology Partners

Despite the recent declines in investment, the macro-trends for cleantech venture capital are very positive — funds are getting bigger, the market for clean energy has grown to a respectable size and long-term signals from government are coming together.


“This is a renaissance time for the cleantech sector,” said Ira Ehrenpreis, a general partner with the firm Technology Partners, at a recent panel discussion in New York City. “This is not an obscure area of investment anymore.


”Last week, the Cleantech Group released a report on the state of venture capital, which showed that venture investments in the cleantech space were up 12 percent from the first quarter of this year. Total investments reached US $1.2 billion globally. That is still down over 40 percent from this time last year, but a rebound certainly seems to be underway.


The characteristics of this growth are different than in the past. Many venture capital firms are opting to re-invest with their portfolio companies rather than dig for new opportunities. As a result, series A rounds dropped by half in 2008, according to figures from New Energy Finance.


While the average size of those rounds has grown from approximately $6 million to $8 million, smaller companies are not getting as much attention, making it more difficult for undiscovered, game-changing technologies and business models to get funding.


“I'm actually highly concerned about the risk aversion and incrementalism that I'm seeing in the venture asset class,” said Ehrenpreis. “We're seeing people not swinging for the fences the way that venture capitalists ought to be swinging.


”This trend is a reflection of the broader economy, not necessarily a change in venture capital culture, said Ehrenpreis.


But some believe that venture capital culture is taking on a new form as the cleantech sector sees explosive growth. One would think that interest in this sector would make it easier for entrepreneurs to get a business off the ground. But the opposite is often the case, said author and entrepreneurial consultant Sramana Mitra.“


Increasingly, the VC model is more of a banking model,” said Mitra in an interview. “If they're only going to do late-stage financing, it's no longer a venture capital model. That is surely something that cleantech entrepreneurs need to address.


”The massive funds and large rounds of financing are creating unprecedented opportunities for clean energy companies. Funds of $250 million and above for renewable energy-related investments are not uncommon. However, as the figures from New Energy Finance show, most of those companies are in later stages of development.


Venture capital used to be about taking big risks by investing in early-stage companies; increasingly the venture capital community is going the other way, said Mitra.


Mitra does not believe that entrepreneurs should be frustrated by these trends. Instead, they should see them as an opportunity. Quite often, people get sidetracked trying to raise venture capital rather than focusing on “mentor capital” from smaller angel investors like colleagues, friends and family.


Given how capital intensive the clean energy industry is, relying on this type of funding can be more difficult. But it can also make an entrepreneur more successful by forcing them to be frugal and focused as they bootstrap their way through early-stage growth.

Venture capitalists are typically looking for returns within a seven-year time frame. In many cases, getting an idea off the ground can take longer, especially in the energy sector. Without having to rely on this more "impatient" model, said Mitra, entrepreneurs can take the time needed to develop their idea — assuming they can keep smaller investors on board that long.


In addition, more project finance opportunities will become available when the new clean renewable energy bond program, loan guarantee program and grant program are rolled out through the stimulus package over the next year. It will be crucial for entrepreneurs to understand these options, said Mitra.


“There are all sorts of other non-venture capital types of financing models out there, which entrepreneurs have to get incredibly savvy about in order to get their cleantech ventures off the ground,” she said.


The venture capital community may be focusing on later-stage companies, but that doesn't mean that things are easier for those players either.


According to a recent study from the Clean Energy Group and New Energy Finance, the so-called “valley of death” has widened for new clean energy technologies. The valley of death refers to the difficult period between proof-of-concept for a technology and large-scale deployment.


At a certain point, technologies become too capital-intensive for a venture capital firm to develop; however, the technological risk is sometimes too high for private equity investors and project financiers. This makes it difficult to deploy new energy technologies.


This recent report shows that average commercialization rounds of funding have risen by about $15 million, but the number of such rounds has dropped. That has stretched out this difficult period for many companies ready to bring their product to market.


“The valley of death looms large no matter how you measure it,” said Dan Reicher, Director of Climate Change and Energy Initiatives at Google.org in an interview. “With the economic crisis...so many technologies brought to commercial scale by the venture capital community are dying on the vine. This is quite a critical issue.


”The renewable energy industry faces a particularly expansive valley of death. Google has recognized that problem and made some high profile investments in order to stimulate the market for capital intensive technologies.


Over the last year, the company invested about $10 million dollars in advanced geothermal companies, $130 million in a concentrating solar power company and millions more in electric-vehicle and smart-grid technologies. Industries like advanced geothermal, in which companies drill miles beneath the earth to access temperatures over 1,000 degrees Fahrenheit, are currently very high risk. But Google sees the potential and continues to heavily promote the industry.


“We're very bullish about these various technologies,” said Reicher. “We have to build a few big plants to prove to the finance community that this is a viable technology.


”With high-profile firms like Google backing clean energy in a big way, early-stage companies in the space have a lot to be excited about.


The issue now, said Technology Partners' Ehrenpreis, is whether the venture capital community will continue to take the risks needed to harness innovation from entrepreneurs and new start-ups.


“We're trying to find things that have such game-changing characteristics,” he said “It's a challenge for the venture community to have the conviction to truly invest in the kind of venture-backed profile deals that we need and not invest in another 'me-too' deal that is defining today.”


Minggu, 12 Juli 2009

Jeli Bioetanol, Bahan Bakar dari Jerami

Konversi minyak tanah ke gas yang sempat menimbulkan kontroversi dikalangan warga masyarakat beberapa waktu lalu mengundang perhatian kalangan kelompok mahasiswa peneliti dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung yang kemudian berhasil menemukan alternatif pengganti minyak tanah.

Hasil penelitian kelompok mahasiswa Fakultas Farmasi Unpad menemukan bahan bakar yang mereka namakan "Jeli bioetanol" dari bahan utama jerami menjadi pengganti minyak tanah ditampilkan pada Pameran Kreativitas Mahasiswa (PKM) di kampus Unpad Jalan Dipati Ukur Bandung, Kamis (11/6).

Salah seorang mahasiswa peneliti Sylvia, mengatakan jerami yang selama ini dianggap remeh tidak lebih dari sekedar limbah justru mengandung hemoselulosa dan jika dilakukan proses difermentasi dapat menghasilkan etanol. "Etanol merupakan zat mudah terbakar seperti terdapat pada minyak tanah," ucap Restu, anggota kelompok mahasiswa peneliti lainnya.

Bentuk jeli dipilih karena bersifat membungkus etanol dan pembungkusan itu bertujuan menjaga agar etanol tidak mudah menguap. Cara pembuatan jeli bioetanol tersebut cukup mudah, jerami dimasukkan ke dalam tempayan 15 liter yang kemudian diberi ragi.

Setelah itu, etanol menguap dan masuk ke dalam pipa kondensor untuk pengembunan. Kemudian yang muncul ialah cairan yang akhirnya diberi basis jel dan jadilah jeli bioetanol yang siap digunakan sebagai bahan bakar. Penelitian kelompok mahasiswa Fakultas Farmasi Unpad yang dilakukan awal maret 2009 itu dijadwalkan rampung pertengahan Juni 2009.

Tim penelitian mengaku belum akan memasarkan produknya, sebab mereka masih mencari formula tepat. Tapi jika selesai, hasil penelitian itu diharapkan dapat dimanfaatkan kalangan home industry dalam menggerakan usaha sebagai pengganti minyak tanah yang harganya terus melambung dan semakin sulit dicari.


EDJ
Sumber : http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/06/11/14573181/jeli.bioetanol.bahan.bakar.dari.jerami

Rumput Laut Jadi Bahan "Biofuel"

Riset rumput laut yang dilakukan dari waktu ke waktu kian lebar menguak kegunaan tumbuhan air ini. Selama ini rumput laut telah banyak digunakan sebagai bahan baku beragam jenis produk, seperti pangan, farmasi, dan kosmetik.

Belakangan ini mulai diketahui manfaat lain rumput laut, yaitu sebagai pereduksi emisi gas karbon dan bahan baku biofuel. Oleh karena itu, untuk mengatasi krisis bahan bakar minyak (BBM) yang saat ini telah berlangsung, rumput laut harus dikembangkan pemanfaatannya sebagai sumber alternatif energi.

Hal itu disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi saat memberi sambutan pada Indonesia Seaweed Forum I di Makassar Sulawesi Selatan, Selasa (28/10). Pertemuan itu diselenggarakan Indonesia Seeweed Society, Asosiasi Petani Rumput Laut Indonesia, Ikatan Fikologi Indonesia, dan Asosiasi Rumput Laut Indonesia.

Mikroalga sebagai biodiesel, menurut Freddy, lebih kompetitif dibandingkan dengan komoditas lain. Sebagai perbandingan, mikroalga (30 persen minyak) seluas 1 hektar dapat menghasilkan biodiesel 58.700 liter per tahun, sedangkan jagung 172 liter per tahun, dan kelapa sawit 5.900 liter per tahun.

Selain itu, katanya, rumput laut juga bukan merupakan bahan konsumsi pokok harian dan budidayanya tidak memerlukan waktu yang lama.

Sebagai daerah yang memiliki kawasan pesisir yang luas, apalagi berada di daerah tropis, Indonesia berpotensi menjadi produsen terbesar rumput laut di dunia. Menurut Freddy, saat ini ada areal seluas 1,1 juta hektar lebih yang berpotensi untuk budidaya rumput laut, tetapi yang termanfaatkan hanya 20 persen.

Menanggapi harapan Freddy, Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo mengatakan, pihaknya akan menyediakan lahan yang memadai untuk budidaya rumput laut. Sulsel memiliki pesisir pantai sepanjang 2.000 kilometer dan hampir 1.000 jumlah pulaunya.

Revitalisasi perikanan

Karena memiliki beberapa keunggulan, Freddy menambahkan, rumput laut pun dapat menjadi komoditas utama dalam program revitalisasi perikanan. Keunggulan itu antara lain peluang ekspornya masih terbuka luas, harganya relatif stabil, dan belum ada kuota perdagangan bagi rumput laut.

Keunggulan lainnya, teknologi pembudidayaannya sederhana sehingga mudah dikuasai petani, siklus budidayanya relatif singkat sehingga cepat memberikan penghasilan dan keuntungan, kebutuhan modal relatif kecil, dan pembudidayaan rumput laut tergolong usaha padat karya. Di sisi lain, rumput laut ramah lingkungan dan tidak ada produk sintetisnya.

Dalam program revitalisasi budidaya rumput laut tahun 2009 ditargetkan tercapai produksi 1,9 juta ton. Untuk itu, Freddy menekankan perlunya penerapan pola pengembangan kawasan budidaya, terutama untuk komoditas Euchema dan Gracilaria. Luas lahan yang diperlukan sampai 2009 adalah 25.000 hektar, yakni 10.000 hektar untuk Gracilaria dan 15.000 hektar untuk Euchema.

Untuk penyediaan bibit akan dikembangkan kebun bibit di sentra atau pusat pengembangan di Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jabar, Jateng, Jatim, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalsel, Kaltim, Sulut, Sulsel, Sultera, Maluku, dan Papua. Selain itu, juga akan dilakukan pengaturan pola tanam dan penyediaan 150 unit mesin praproses untuk perbaikan mutu pascapanen. Dengan pengembangan ini, diperkirakan akan terserap 255.000 tenaga kerja.


Yuni Ikawati

source:http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2008/10/29/08443245/rumput.laut.jadi.bahan.biofuel

Nyamplung, Sumber Energi Biofuel yang Potensial

Berdasar blue print energi nasional tahun 2005 kebutuhan bahan bakar nabati sebagai campuran sebesar 5 persen, untuk memenuhi kebutuhan tersebut memerlukan 720 kiloliter biodiesel.

Setelah mengembangkan biji jarak, pemerintah sedang meneliti sumber energi biofuel dari nyamplung untuk memenuhi kebutuhan energi 720 kiloliter biodiesel.

Hal itu diungkapkan Kepala Badan Litbang Kehutanan Wahjudi Wardoyo dalam seminar nasional Nyamplung, Sumber Energi Biofuel yang Potensial, Selasa (23/9).

"Jika kebutuhan biodiesel sebesar 720 kiloliter disuplai dari nyamplung maka diperlukan sekitar 5,1 juta ton biji nyamplung. Ini potensi industri yang cerah ke depannya," kata Wahjudi.

Ia menegaskan diperlukan luasan panen tanaman nyamplung minimal 254 ribu hektar pada 2025 untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Menurut Deputi II Menteri Perekonomian Bayu Krisnamurti, potensi industri minyak nyamplung ini memang diperuntukkan bagi pemberdayaan industri kecil dan menegah.

"Industri pengolahan minyak nyamplung itu disertai dengan pemanfaatan limbah industri dan produk ikutannya dapat menyerap tenaga kerja lokal yang cukup besar," ujar Bayu.


MYS

Program Mandek, Industri Biofuel Rugi 2 Miliar Dollar AS

Program wajib pasok kebutuhan dalam negeri alias mandatory bahan bakar nabati (BBN) semakin tak jelas. Sesuai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32/2008 tertanggal 13 Oktober 2008, seharusnya program tersebut mulai berjalan awal 2009. Tapi hingga kini tak jelas juntrungannya.

Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) mencatat, total kerugian akibat mandeknya program tersebut mencapai 2 miliar dollar AS. Kerugian itu berasal dari nilai investasi yang sudah ditanamkan untuk membangun pabrik dan penghentian produksi sejak awal 2009 hingga April 2009.

Alhasil, dari 22 produsen biofuel, sudah 21 perusahaan memutuskan menutup usahanya. "Inilah bukti keterpurukan industri," tandas Purnadi Djodjosudirjo, Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi), Senin (11/5).

Satu-satunya produsen biofuel yang masih beroperasi adalah PT Wilmar International. Wilmar adalah pemasok biofuel untuk PT Pertamina dengan kapasitas tak lebih dari 7.000 ton per bulan. Adapun perusahaan biofuel yang menghentikan produksinya, antara lain Sinar Mas Group, Sampoerna Group, Asian Agri Inti Nusantara, dan Rajawali Nusantara Indonesia (RNI).

Penghentian produksi ke-21 perusahaan terjadi secara bertahap. Sekitar 17 perusahaan biofuel berhenti produksi pada pertengahan tahun lalu, sebelum ada keputusan mandatory BBN. Empat perusahaan lainnya menghentikan produksi sejak akhir 2008 hingga kuartal I-2009.

Para produsen menghentikan produksi awalnya lantaran tak sanggup lagi menanggung kenaikan biaya produksi akibat tingginya harga bahan baku. Kerugian kian besar setelah program BBN mandek. Para produsen pun memutuskan menutup usahanya karena ketidakpastian pasokan BBN akibat ketidakjelasan pelaksanaan mandatory BBN, terutama dari beberapa sektor yang sebelumnya masuk program mandatory BBN, antara lain sektor transportasi, industri, dan kelistrikan.

Direktur Industri Kimia Hulu Departemen Perindustrian Alexander Barus mengakui, kinerja industri biofuel di dalam negeri semakin terpuruk. Hal ini terlihat dari utilisasi industri kini di bawah 10 persen.

Terkait belum keluarnya formulasi harga biofuel, Alex mengaku tak mengetahuinya. Menurutnya, pihak yang berwenang adalah Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. "Kalau tidak ada ketetapan harga, industri biofuel selamanya tidak akan bisa berproduksi karena industri terintegrasi dengan implementasi kebijakan pengembangan energi alternatif," imbuhnya. (Nurmayanti/Kontan)

source:http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/05/12/07552626/program.mandek.industri.biofuel.rugi..2.miliar.dollar.as

Harga Tak Jelas, Industri Biofuel Mati Suri

Tak kunjung keluarnya aturan penerapan harga membuat pengembangan bisnis biofuel mandek.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia Paulus Cakrawan menegaskan, pemerintah mesti mengeluarkan peraturan presiden terkait penetapan harga biofuel untuk menggairahkan kembali industri yang sedang mati suri. "Harusnya sejak bulan-bulan lalu sudah terbit,” kata Paulus di Jakarta, Jumat (3/7).

Paulus berharap, aturan itu bisa keluar sebelum pemilu presiden. Ia khawatir, jika lama tertunda, pengembangan biofuel nasional bakal semakin tidak jelas arahnya.

Paulus menambahkan, saat ini, harga biodiesel dari minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) ditentukan berdasarkan kesepakatan tanpa patokan yang resmi. Akibatnya, produsen menilai penetapan harga tidak sesuai dengan biaya produksi. "Tidak satu pun pabrik biodiesel yang beroperasi saat ini," tegasnya.

Bahkan, ia mengatakan, pabrik biodiesel yang menjual produknya dengan harga Mean Oil Platt Singapore alias MOPS, seperti Wilmar, tidak sanggup berproduksi. Harga biodiesel saat ini dihargai sekitar Rp 5.000 per liter. Padahal, harga CPO masih berkisar Rp 6.000 per liter. "Seharusnya biofuel dibeli dengan harga keekonomian," kata Paulus. (Epung Saepudin/Kontan)

source: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/07/03/15142490/Harga.Tak.Jelas..Industri.Biofuel.Mati.Suri

Investor Biofuel Incar Papua

Emeral Planet Biofuel, salah satu perusahaan asing yang bergerak di bidang program penyelamatan hutan, berminat untuk menanamkan investasi di Kabupaten Mimika, Papua.

Pimpinan Emerald Planet Indonesia, Tobias C Garritt di Timika, Sabtu (26/7) sebagaimana dikutip dari Antara, mengatakan perusahaan Emerald Planet Biofuel dan New Forest memilih tiga kabupaten di Papua sebagai proyek percontohan penyelamatan hutan dengan mengambil bahan karbon dari hutan di wilayah Merauke, Mimika, dan Memberamo.

"Adapun proyek pengambilan karbon akan dipusatkan di Kampung Nayaro Distrik Mimika Baru. Proyek itu untuk menyelamatkan hutan Papua dari kegiatan pembalakan liar," kata Garritt.

Sebelumnya, perusahaan Emerald Planet Biofeul sudah melakukan uji coba penanaman pohon jarak di Kabupaten Jayapura dan Biak Numfor. Bahkan, perusahaan itu telah menandatangani kerja sama dengan Pemerintah Provinsi Papua dalam rangka Papua Reduction of Emission from Deforestion and Degradation (REDD) dan carbon trade (perdagangan karbon) untuk mengurangi jumlah emisi akibat penggundulan dan degradasi hutan di Papua.

"Kami akan melakukan sosialisasi kepada pemerintah daerah dan masyarakat setempat terhadap pemanfaatan carbon trade. Kami melindungi dan menyelamatkan hutan dengan memberikan kompensasi kepada masyarakat setempat, bahkan akan memberikan dana perwalian," katanya.

Sementara itu, Asisten I Bidang Pemerintahan Setda Mimika, Marthin Giay sangat mendukung program kampanye penyelamatan hutan guna meminimalisasikan kasus perambahan hutan di Papua, khususnya di Mimika.

"Pemerintah daerah sangat setuju dengan kampanye penyelamatan hutan di Papua, karena selama ini sudah banyak hutan di Papua yang dijarah. Pemerintah berharap masyarakat Kampung Nayaro mendukung dan menerima kehadiran pilot project dari lembaga Emerald Planet Biofuel," katanya.

Menurut Giay, Pemkab Mimika akan membicarakan dengan pemerintah pusat untuk memberikan kemudahan perizinan bagi Emerald Planet Biofuel guna merealisasikan proyek perdagangan karbon di Mimika. Proyek ini hingga kini masih sangat langka di Indonesia, terutama di Papua.

Senada dengan itu, Kepala Distrik Mimika Baru James Noldy Sumigarmengatakan, Pemkab Mimika telah menandatangani kerja sama dengan PT Merdeka Timber untuk kegiatan penebangan hutan yang akan ditanam kembali dengan kelapa sawit di Kampung Nayaro.

Lain halnya dengan Kepala Kampung Nayaro, Herman Apoka. Ia menegaskan masyarakatnya sangat mendukung setiap program dan kegiatan, termasuk kehadiran investor untuk mengelola hutan di wilayah Nayaro sehingga memberi manfaat ekonomis bagi masyarakat setempat.

source :http://www.kompas.com/read/xml/2008/07/26/18445063/investor.biofuel.incar.papua

Minggu, 28 Juni 2009

Can Biomass Replace Coal?

by Thomas R. Blakeslee, Clearlight Foundation

Wind and solar power are clean and free but they only work part of the time. When the sun goes down and the wind dies, coal is still the workhorse for generating baseload power. But coal is killing us by warming the planet, acidifying our lakes and oceans and sprinkling mercury over the landscape. Geothermal can do part of the job but it will take decades to drill enough wells.

One quick fix that is finally catching on is converting existing coal plants to biomass. Fuel and maintenance costs are actually reduced and expensive pollution control upgrades can often be avoided because biomass contains very little sulphur or mercury. Often the biomass can be grown locally, providing good local jobs and keeping the ratepayers dollars in the community. Biomass burning is carbon neutral because the CO2 emitted by one crop is taken back by the next.

But wait! The U.S. burns a billion tons of coal per year. Since biomass is less energy dense than coal it would take 1.6 billion tons of biomass per year to replace all that coal. According to a DOE study, we can grow about 1.3 on exising available land.

Not quite enough. But there is a way: Efficiency! Existing coal power plants are only about 33% efficient. That means that 67% of the coal’s energy is simply thrown away, often simply heating up a nearby river!


A DOE study estimated the U.S. biomass growing capacity as 1.3 billion tons/yr.

We can get quick reductions in pollution and global warming by simply repowering existing coal power plants. However, a better long-term approach is to start building much more efficient, small-scale power plants where the waste heat can be put to immediate use. Combined Heat and Power (CHP) plants can achieve efficiencies of up to 90% by using the waste heat from electrical generation to produce hot water, heating and air conditioning. Office buildings, hotels, industrial parks and shopping centers are already proving the practicality of CHP.

Efficient, small-scale electrical generation is already possible using fuel cells and microturbines. Systems as small as 300 kW can generate electrical power at 47% efficiency and then deliver the remaining 338 kW for heating applications. Most systems today are powered by natural gas, but biomass can be gasified to produce carbon-neutral syngas, which burns just like natural gas. Small plants can run unattended because internet-connected remote control consoles at the manufacturer can be monitored by experts.

Biomass gasifiers aren’t fussy about what they burn. Even plants that look very different to us are chemically very similar and all produce about 7000 Btu-per-pound when dry. This means that monoculture is not necessary and complimentary mixtures of plants can be grown as feedstock. Marginal land can be used by growing specially-selected crops. Agave, for example, grows happily in semi-desert and produces four times the yield of corn.

Biomass has a tarnished reputation because early attempts to use it were so inefficient. When you ferment ethanol from corn, you get only 330 gallons of ethanol per acre. If you burn 1/7 of an acre of corn you will get the same amount of heat as burning 330 gallons of ethanol. To make matters worse, the ethanol will be burned in a car engine that is only about 25% efficient. Elecric car motors are 90% efficient, so an electric car charged by a 90% efficient biomass CHP plant can go about 22 times as far on an acre of corn as one burning fermented ethanol!

New generation ethanol plants actually use a gasifier to make syngas, which is then transformed into ethanol by catalysts or enzymes. Coskata has a process that makes 100 gallons/dry ton of biomass. A big improvement, but still no match for the efficiency of an electric car. Making ethanol by fermentation also uses lots of energy cooking, fermenting and drying the ethanol. Gasifiers need no external energy once they are started. Gasifiers are also very convenient for converting coal power plants because the syngas can be piped to burners inside the coal-fired boiler. The gasifier can be built in any convenient place leaving the coal burning boiler intact for fuel flexibility.

Gasifiers aren’t fussy about what they are fed. In fact old automobile tires and municipal waste work just fine. In fact, the trash left over after recyclables are diverted works just fine. There are already 90 Waste-to-Energy (WTE) plants in operation in the U.S. This connection between biomass and trash burning turns out to be most unfortunate because an amazingly negative activist movement has grown up to fight against incinerators.

Paul Connett, who also crusades against fluoridation, took up the cause of incinerators, back in the 1980’s. At that time incinerators were a serious source of dioxins and mercury. Now, the incinerators are 1000 times cleaner but the fight continues. By quoting “facts” from studies done before the cleanup, it is still possible to scare well meaning people into marching down to city hall to block permits. Your backyard barbeque produces seven times more dioxins than are allowed at the stack of a modern incinerator.

Unfortunately, the panic about incinerators has spread across the blogsphere and well meaning but misinformed volunteers have blocked permits for far to many well-conceived biomass power plants and WTE facilities. Every time the activists shoot down a project the environment suffers as people are forced to bury the waste or burn it in a backyard barrel. By stopping clean power generation the activists also perpetuate our dependence on dirty coal power plants!

The internet is a wonderful thing, but bad ideas can spread like wildfire. Just like the global warming denial sites, Zero waste sites sound very convincing. The problem is we can’t economically recycle everything. “Zero waste” sounds good just like “clean coal” does, but both are impractical. We must provide a clean, safe way to detoxify the trash that remains after recycling. Plasma gasifiers leave only 0.2% ash residue and generate significant green power in the bargain. If we run short of trash they can happily run on biomass too.

source: http://www.renewableenergyworld.com/rea/news/article/2009/06/can-biomass-replace-coal?cmpid=WNL-Thursday-June25-2009

Kamis, 25 Juni 2009

Aren Sebuah Jawaban Krisis Energi atau Pesaing Kebutuhan Makanan???

JAKARTA, Pada Selasa 6 Desember lalu Kementrian Negara Riset dan Teknologi mengadakan Workshop yang bertajuk Budidaya dan Pemanfaatan Aren Untuk Bahan Pangan dan Energi, workshop ini diikuti oleh para peneliti dan praktisi aren dan energi terbarukan, akademisi dari berbagai universitas, serta berbagai departemen baik pusat maupun daerah diseluruh Indonesia, sementa untuk pembicara terdiri dari akademisi, dan ahli energi terbarukan serta praktisi, pengusaha dan pengembang bio ethanol maupun petani dan pengrajin gula aren.

David Alloreung Pembicara kunci yang merupakan Peneliti pada Puslitbang Tanaman Perkebunan, Departemen Pertanian dalam pemaparanya menjelaskan bahwa aren merupakan tanaman serba guna yang mempunyai potesi besar dalam bahan subtitusi pembuat gula maupun bioethanol, sayangnya sampai saat ini pohon aren yang tumbuh di Indonesia sebagian besar merupakan pohon yang umumnya tumbuh secara liar serta sampai saat ini belum ada penelitian yang memadai tentang pohon aren unggul.

Aren (Arnga pinnata Merr) adalah salah satu keluarga palma yang serbaguna, dapat tumbuh pada ketinggian 0-1500 meter di atas permukaan laut. Sekalipun lebih dikenal sebagai tanaman hutan, aren telah mulai dibudidayakan secara baik oleh suku Batak Toba sejak awal tahun 1900. Tanaman ini tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia pada berbagai kondisi agroekososistem. Penyebaran pertumbuhan aren umumnya berlangsung secara alamiah. Di beberapa tempat, terutama yang memiliki kebiasaan membuat gula atau mengonsumsi minuman beralkohol, aren sudah sering ditanam secara sengaja, meskipun umumnya sebagai tanaman pinggiran atau tanaman sela di antara tanaman pepohonan yang sudah ada. Meskipun para petani penderes mengakui bahwa gula yang dihasilkan dari nira aren sangat menolong ekonomi mereka, perhatian pemerintah terhadap upaya pengembangan tanaman ini sangat terbatas dan tidak konsisten. Hal yang sama dijumpai pada lembaga-lembaga penelitian, penelitian tanaman aren umumnya dilakukan secara insidentil.

Berkaitan dengan sumber energi terbarukan, yang sudah lama disuarakan, kita ternyata tidak memberikan respons secara cepat. Krisis energi di akhir 2005 yang dibarengi dengan fenomena kekacauan iklim telah berhasil memicu kesadaran semua pihak untuk mengembangkan energi terbarukan dan lebih ramah lingkungan. Dalam konteks ini, aren memiliki potensi yang sangat besar sebagai sumber utama bioenergi yang ramah lingkungan di samping sebagai penghasil pangan dan tanaman konservasi.

Kebutuhan bahan bakar premium terus meningkat sejalan dengan kemajuan di bidang ekonomi dan impor meningkat tajam dari sekitar 0.5 juta pada tahun 1998 menjadi sekitar 6 juta KL pada tahun 2004 ketika kebutuhan bahanbakar jenis ini telah mencapai 17 juta KL/tahun. Jika digunakan campuran alkohol sebesar 10 % berarti kebutuhan alkohol akan mencapai 1.7 juta Kl/tahun atau sekitar 4.6 juta liter/hari. Masalahnya adalah hampir sama sumber bahan baku biofuel bersaing dengan kebutuhan pangan di samping persaingan pemanfaatan lahan untuk menghasilkan bioenergi. Dalam konteks ini, aren dapat berperan sebagai salah satu sumber bioenergi yang penting mengingat produktivitasnya yang sangat tinggi sehingga hemat pemakaian lahan. Disamping itu, dapat ditanam di antara tanaman yang sudah ada atau sebagai komponen tanaman untuk reboisasi atau penghijauan sehingga tidak bersaing dengan komoditas pangan.

Tanaman aren memiliki daya adaptasi terhadap berbagai kondisi lahan dan agroklimat, memiliki toleransi yang tinggi dalam pertanaman campuran termasuk dengan tanaman kayu, tumbuh relatif cepat serta memiliki perakaran dan tajuk yang lebat sehingga sangat cocok untuk tujuan konservasi tanah dan air, merupakan tanaman serbaguna karena hampir semua bagiannya bernilai ekonomi dan tidak membutuhkan pemeliharaan intensif sehingga cocok bagi petani miskin di lahan marginal. Tanaman aren juga menghasilkan biomas di atas tanah yang sangat besar satu hingga 2 ton/pohon, sehingga dapat berperan penting dalam CO2 sequestration.QMI-MIT.com

Source:http://www.qmi-mit.com/index.php?option=com_content&task=view&id=34&Itemid=1
google918401c9860b4077.html