Minggu, 26 Juli 2009

Greenpeace: Stop PLTN, Tingkatkan Energi Terbarukan

Tenaga nuklir yang kerap dipakai sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) disalahpersepsikan sebagai solusi untuk perubahan iklim. Padahal ada energi terbarukan yang sangat aman dan bersih seperti sinar matahari, panas bumi, angin dan mikrohidro. Dan Indonesia baru memanfaatkan energi terbarukan ini kurang dari 5 persen.

"Lalu kenapa masih berupaya mendirikan PLTN," kata Tessa de Ryck, Juru Kampanye Nuklir Greenpeace Regional Asia Tenggara saat peluncuran Komik Nuclear Meltdown Pesan dari Kegelapan di Jakarta, Minggu (21/6).
Menurut de Ryck, satu PLTN menghasilkan limbah nuklir dengan kadar radioaktif tinggi 20 hingga 30 ton per tahun. Parahnya, sampai sekarang tidak ada cara aman untuk menyimpan limbah nuklir, sehingga limbah nuklir bertumpuk. Di seluruh dunia diperkirakan ada 250.000 ton limbah nuklir.

Lebih lanjut ia mengatakan, kalau radiasi nuklir bocor dari PLTN maka akan meradiasi sel-sel tubuh sehingga mengakibatkan kanker kelenjar, kelainan saat bayi dilahirkan, kemandulan, leukimia, mutasi gen, kardiovaskular. Pada dasarnya, ia menambahkan, tidak ada reaktor nuklir yang benar-benar aman. Semua reaktor operasional memiliki kelemahan pada sistem keselamatan dasar yang tidak dapat dihilangkan begitu saja meskipun dengan meningkatkan tingkat keamanan.

Selain itu, de Ryck memaparkan deretan kelemahan PLTN. Menurutnya sampai saat ini tidak ada solusi untuk limbah nuklir, membangun PLTN mahal mencapai 5 miliar dollar AS, jika terjadi kecelakaan akibatnya fatal, teknologi nuklir terlalu kompleks dan hanya dikuasai beberapa negara (AS, Rusia, Perancis, Jepang, Korsel dan Kanada), cadangan uranium sebagai bahan PLTN hanya terdapat di negara tertentu (Kanada, Australia, Nigeria, Kazakstan, Usbekistan), dan nuklir tidak bisa membantu perubahan iklim.

"Oleh karena itu lebih baik menggunakan sumber energi terbarukan yang aman, bersih dan jauh lebih murah. Dan yang terpenting, sumbernya ada banyak di Indonesia," ungkapnya. Namun demikian, de Ryck tidak memungkiri pemerintah melalui Badan Tenaga Atom Indonesia (BATAN) terus bergiat dengan risetnya di 3 reaktor riset nuklir.
"Mengatakan sudah berhasil meriset pada reaktor riset lalu berhasil pula pada saat PLTN dibangun, sama saja mengatakan saya bisa menjahit luka maka saya bisa mengoperasi jantung, sekalipun reaktor risetnya sebesar di Serpong," papar de Ryck, saat mengomentari para peneliti BATAN yang terus bekerja mempersiapkan PLTN.
Melihat terlalu berbahayanya PLTN dan ada begitu banyak sumber energi terbarukan yang dimiliki Indonesia, Greenpeace mendesak pemerintah Indonesia untuk meningkatkan target energi terbarukan sekaligus meningkatkan kualitas hukum dan peraturan yang selama ini menjadi batu sandungan terbesar dalam investasi di bidang energi terbarukan.

"Meningkatkan investasi bahan bakar fosil dan nuklir untuk dialihkan pada panas bumi, angin, dan matahari tidak hanya merupakan pilihan pintar untuk mengurangi emisi, tetapi juga pilihan ekonomi yang pintar," pungkas de Ryck.

source:http://sains.kompas.com/read/xml/2009/06/21/23021941/greenpeace.stop.pltn.tingkatkan.energi.terbarukan

Toak, Bisa Disulap Jadi Energi Alternatif

Toak, selama ini dikenal sebagai minuman khas dari Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Selain dikenal sebagai minuman yang bisa memabukkan peminumnya, kini toak bisa di manfaatkan sebagai bahan bakar alternatif. Hasil percobaan Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten

Tuban, meski belum mencapai hasil memuaskan, namun temuan itu cukup bermanfaat sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah.

Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tuban, Muji Slamet Kamis (16/7) menyatakan saat ini, timnya sedang melakukan penelitian akhir tentang bahan bakar alternatif berbahan baku toak. Hasil fermentasi sari bunga pohon siwalan ini, ternyata mampu m enghasilkan bahan ethanol bermutu tinggi.

Agar menghasilkan cairan ethanol yang bermutu tinggi harus menggunakan toak basi atau toak yang difermentasi mengunakan ragi. Lalu, toak yang telah disimpan di tempat tertutup selama tujuh hari disuling melalui pemanasan. Pemanasan toak ini di lakukan h ingga mendidih, kata Muji.

Hasil penguapan toak basi ini disalurkan melalui pipa yang di rendam ke dalam air dingin. Pendinginan disebut sebagai proses penyulingan menghasilkan ethanol yang dipakai sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak tanah.
Kandungan ethanol dalam olahan toak ini cukup tinggi hingga mencapai 90 persen. Ethanol ini kemudian diuji kualitasnya dengan cara membakarnya. Hasilnya cukup luar biasa, ethanol yang di bakar mampu menghasilkan api dengan menyala biru dengan jangka wakt u yang lama, katanya.

Penelitian dan percobaan bahan bakar dari toak ini dilakukan sebanyak lima kali dalam kurun waktu selama satu bulan terakhir. Namun hasilnya masih perlu diuji untuk mencapai biaya produksi yang efisien untuk diproduksi oleh masyarakat. Meski telah berhasi l masih terus dilakukan pengembangan atas penemuan itu. Rencananya akan dilakukan penelitian dan percobaan penggunaan tenaga surya atau tenaga angin sebagai bahan pemanas tungku dalam proses penyulingan toak menjadi ethanol, kata Muji.

Menurut dia rutinitas memanjat pohon siwalan merupakan aktifitas yang tak asing lagi bagi masyarakat Kabupaten Tuban. Dari pohon siwalan ini tidak hanya bisa dimanfaatkan buahnya, sebagai bahan dawet atau dibuat legen siwalan. Sari bunga dari pohon ini ya ng biasa di sebut toak juga dapat dikonsumsi sebagai minuman layaknya minuman keras karena bisa memabukkan. Kini ditemukan toak bisa jadi bahan bakar cukup membanggakan, katanya.

sumber:http://sains.kompas.com/read/xml/2009/07/16/19042888/toak.bisa.disulap.jadi.energi.alternatif.

Rabu, 22 Juli 2009

by Jennifer Kho, Contributor
California, United States [RenewableEnergyWorld.com]


At first glance, it might look like oil companies are pulling out of renewables. At the end of June, BP closed its alternative-energy headquarters. The oil company also has cut its alternative-energy budget and closed several solar factories in Spain. And that's after Shell sold off most of its solar business at the end of 2007. But while solar might not have been the best fit for the petroleum industry, analysts say that oil companies might be better-positioned in renewable fuels – and are seeing some obvious signs of movement into the area.
"My gut [feeling] is that oil companies understand that, at some point, they've got to get into renewables."-- Michael Butler, CEO, Cascadia Capital


One of the biggest is ExxonMobil's announcement last week that it will invest more than $600 million in algae-based biofuels, with more than $300 million going to Synthetic Genomics. Of course, oil companies have previously invested at the research level, such as when BP announced it would invest $500 million — over a decade — in a research consortium led by the University of California at Berkeley in 2007. But Michael Butler, CEO of investment bank Cascadia Capital, said that starting last fall, about when the economic downturn began, he began seeing more activity in the business of renewable fuels as well.


Some examples? U.S. oil company Valero Energy Corp. in March won court approval to buy seven ethanol plants — and one partially completed plant — from VeraSun Energy Corp. Earlier this month, Redmond, Wash.-based Prometheus Energy, which converts waste methane into liquid natural gas, said it raised $20 million from the Shell Technology Ventures Fund and Black River Asset Management, a subsidiary of the agricultural giant Cargill. And in February, Conoco opened an ethanol fuel-blending station in Kansas in partnership with ICM, Poet and Crescent Oil. Conoco and Tyson Foods in May suspended plans for a plant that would have made biodiesel from animal fat, but DTN Research analyst Rick Kment said Conoco is considering buying a biofuel plant on the East Coast.


One reason for these investments is that the recession — along with the hard times for the ethanol and biodiesel industry — has led to great deals for biofuel assets, Kment said. Valero was able to acquire VeraSun assets for a mere 30 percent of the estimated cost of building the plants, and similar opportunities may be available. In February, Archer Daniel Midlands told analysts that nearly 21 percent of U.S. ethanol production capacity had been shut down, meaning that plenty of defunct assets could be up for grabs.


Kment said he expects to see more examples of oil companies buying ethanol and biofuel plants to meet that standard. After all, the renewable fuel standard calls for 36 billion gallons of biofuel to be blended into transportation fuels by 2022, up from 9 billion gallons last year. At today's low prices, it makes sense for blenders to buy biofuel assets as a hedge against higher prices in the future, Kment said. "At this point, companies are looking at this as economical and a good investment," he said. "The value of these plants are at nickels or dimes on the dollar, so [oil companies] have an opportunity to lock up a portion of their blending needs of biofuels … and hedge their overall cost in case the overall supply becomes tighter in the future."


Kment sees oil companies spending more money at the asset-acquisition level than at the startup stage. But even those smaller startup investments represent a significant trend at a time when many venture capitalists and private-equity investors are pulling back, Butler said. "They're filling a void in the marketplace," he said. "Oil companies have the [technological expertise] to get really deep into this technology. So they can afford to take these bets and take on some of this risk."


Many renewable-fuel technologies have turned out to be harder to fully commercialize than startups expect. (It took Prometheus Energy, for example, an extra 1-plus year to get up and running. The company was delisted from the London AIM exchange last year, before scoring its funding round.) But even though financial investors have been burned by the significant amount of capital and secure distribution channels that it takes to make biofuels successful, those same factors could give oil companies an edge, Butler said. In fact, several of his clients are currently in discussions with big oil and gas companies. "It's just a natural fit," he said. "Big companies bring the distribution and [scale], and startups bring the technology and the innovation."


In any case, all the investments signify that the petroleum industry "really looks at biofuels as a stable part of the industry," Kment said. "Whether they like it or appreciate it or not, they see it as being part of the [fuels] industry and one of the things needed to [do business] in the United States."


Butler agrees that it's a milestone for biofuels. "My gut [feeling] is that oil companies understand that, at some point, they've got to get into renewables," he said. "I'm not really sure they’re going to develop the products in their own companies, so it probably makes more sense for them to go outside. If the technology ends up working, this could be very, very synergistic."


The trend of oil companies expanding from buying to also producing biofuels could significantly grow the industry, analysts said. Renewable fuels is certainly a better fit for oil companies than solar power, said Ron Pernick, a principal at research firm Clean Edge. "They didn't know [solar] manufacturing, didn't have the distribution channels for something like a solar panel — it didn't fit their gestalt or their DNA," he said.


Alternative fuels could make far more sense because they tie more closely to oil and gas companies' core business, he added. "Here is a business where a lot of biofuel tech companies have tried and failed, and maybe that wasn't the right fit for them," he said. "I think if anyone can crack this nut, it's probably the chemical and oil and gas guys."


Freelancer Jennifer Kho has been covering green technology since 2004, when she was a reporter at Red Herring magazine. She has more than nine years of reporting experience, most recently serving as the editor of Greentech Media. Her stories have appeared in such publications as The Wall Street Journal, the Los Angeles Times, BusinessWeek.com, CNN.com, Earth2Tech, Cleantechnica, MIT's Technology Review, and TheStreet.com.

Rabu, 15 Juli 2009

Can Cleantech Entrepreneurs Rely on Venture Capital?

by Stephen Lacey, Staff Writer
New York, United States [RenewableEnergyWorld.com]


After a two-quarter period of falling venture capital investments in the cleantech space, the industry is finally picking back up again. But the prospects for early-stage companies and entrepreneurs looking for funding is mixed.


"It's a challenge for the venture community to have the conviction to truly invest in the kind of venture-backed profile deals that we need and not invest in another 'me-too' deal that is defining today."-- Ira Ehrenpreis, General Partner, Technology Partners

Despite the recent declines in investment, the macro-trends for cleantech venture capital are very positive — funds are getting bigger, the market for clean energy has grown to a respectable size and long-term signals from government are coming together.


“This is a renaissance time for the cleantech sector,” said Ira Ehrenpreis, a general partner with the firm Technology Partners, at a recent panel discussion in New York City. “This is not an obscure area of investment anymore.


”Last week, the Cleantech Group released a report on the state of venture capital, which showed that venture investments in the cleantech space were up 12 percent from the first quarter of this year. Total investments reached US $1.2 billion globally. That is still down over 40 percent from this time last year, but a rebound certainly seems to be underway.


The characteristics of this growth are different than in the past. Many venture capital firms are opting to re-invest with their portfolio companies rather than dig for new opportunities. As a result, series A rounds dropped by half in 2008, according to figures from New Energy Finance.


While the average size of those rounds has grown from approximately $6 million to $8 million, smaller companies are not getting as much attention, making it more difficult for undiscovered, game-changing technologies and business models to get funding.


“I'm actually highly concerned about the risk aversion and incrementalism that I'm seeing in the venture asset class,” said Ehrenpreis. “We're seeing people not swinging for the fences the way that venture capitalists ought to be swinging.


”This trend is a reflection of the broader economy, not necessarily a change in venture capital culture, said Ehrenpreis.


But some believe that venture capital culture is taking on a new form as the cleantech sector sees explosive growth. One would think that interest in this sector would make it easier for entrepreneurs to get a business off the ground. But the opposite is often the case, said author and entrepreneurial consultant Sramana Mitra.“


Increasingly, the VC model is more of a banking model,” said Mitra in an interview. “If they're only going to do late-stage financing, it's no longer a venture capital model. That is surely something that cleantech entrepreneurs need to address.


”The massive funds and large rounds of financing are creating unprecedented opportunities for clean energy companies. Funds of $250 million and above for renewable energy-related investments are not uncommon. However, as the figures from New Energy Finance show, most of those companies are in later stages of development.


Venture capital used to be about taking big risks by investing in early-stage companies; increasingly the venture capital community is going the other way, said Mitra.


Mitra does not believe that entrepreneurs should be frustrated by these trends. Instead, they should see them as an opportunity. Quite often, people get sidetracked trying to raise venture capital rather than focusing on “mentor capital” from smaller angel investors like colleagues, friends and family.


Given how capital intensive the clean energy industry is, relying on this type of funding can be more difficult. But it can also make an entrepreneur more successful by forcing them to be frugal and focused as they bootstrap their way through early-stage growth.

Venture capitalists are typically looking for returns within a seven-year time frame. In many cases, getting an idea off the ground can take longer, especially in the energy sector. Without having to rely on this more "impatient" model, said Mitra, entrepreneurs can take the time needed to develop their idea — assuming they can keep smaller investors on board that long.


In addition, more project finance opportunities will become available when the new clean renewable energy bond program, loan guarantee program and grant program are rolled out through the stimulus package over the next year. It will be crucial for entrepreneurs to understand these options, said Mitra.


“There are all sorts of other non-venture capital types of financing models out there, which entrepreneurs have to get incredibly savvy about in order to get their cleantech ventures off the ground,” she said.


The venture capital community may be focusing on later-stage companies, but that doesn't mean that things are easier for those players either.


According to a recent study from the Clean Energy Group and New Energy Finance, the so-called “valley of death” has widened for new clean energy technologies. The valley of death refers to the difficult period between proof-of-concept for a technology and large-scale deployment.


At a certain point, technologies become too capital-intensive for a venture capital firm to develop; however, the technological risk is sometimes too high for private equity investors and project financiers. This makes it difficult to deploy new energy technologies.


This recent report shows that average commercialization rounds of funding have risen by about $15 million, but the number of such rounds has dropped. That has stretched out this difficult period for many companies ready to bring their product to market.


“The valley of death looms large no matter how you measure it,” said Dan Reicher, Director of Climate Change and Energy Initiatives at Google.org in an interview. “With the economic crisis...so many technologies brought to commercial scale by the venture capital community are dying on the vine. This is quite a critical issue.


”The renewable energy industry faces a particularly expansive valley of death. Google has recognized that problem and made some high profile investments in order to stimulate the market for capital intensive technologies.


Over the last year, the company invested about $10 million dollars in advanced geothermal companies, $130 million in a concentrating solar power company and millions more in electric-vehicle and smart-grid technologies. Industries like advanced geothermal, in which companies drill miles beneath the earth to access temperatures over 1,000 degrees Fahrenheit, are currently very high risk. But Google sees the potential and continues to heavily promote the industry.


“We're very bullish about these various technologies,” said Reicher. “We have to build a few big plants to prove to the finance community that this is a viable technology.


”With high-profile firms like Google backing clean energy in a big way, early-stage companies in the space have a lot to be excited about.


The issue now, said Technology Partners' Ehrenpreis, is whether the venture capital community will continue to take the risks needed to harness innovation from entrepreneurs and new start-ups.


“We're trying to find things that have such game-changing characteristics,” he said “It's a challenge for the venture community to have the conviction to truly invest in the kind of venture-backed profile deals that we need and not invest in another 'me-too' deal that is defining today.”


Minggu, 12 Juli 2009

Jeli Bioetanol, Bahan Bakar dari Jerami

Konversi minyak tanah ke gas yang sempat menimbulkan kontroversi dikalangan warga masyarakat beberapa waktu lalu mengundang perhatian kalangan kelompok mahasiswa peneliti dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung yang kemudian berhasil menemukan alternatif pengganti minyak tanah.

Hasil penelitian kelompok mahasiswa Fakultas Farmasi Unpad menemukan bahan bakar yang mereka namakan "Jeli bioetanol" dari bahan utama jerami menjadi pengganti minyak tanah ditampilkan pada Pameran Kreativitas Mahasiswa (PKM) di kampus Unpad Jalan Dipati Ukur Bandung, Kamis (11/6).

Salah seorang mahasiswa peneliti Sylvia, mengatakan jerami yang selama ini dianggap remeh tidak lebih dari sekedar limbah justru mengandung hemoselulosa dan jika dilakukan proses difermentasi dapat menghasilkan etanol. "Etanol merupakan zat mudah terbakar seperti terdapat pada minyak tanah," ucap Restu, anggota kelompok mahasiswa peneliti lainnya.

Bentuk jeli dipilih karena bersifat membungkus etanol dan pembungkusan itu bertujuan menjaga agar etanol tidak mudah menguap. Cara pembuatan jeli bioetanol tersebut cukup mudah, jerami dimasukkan ke dalam tempayan 15 liter yang kemudian diberi ragi.

Setelah itu, etanol menguap dan masuk ke dalam pipa kondensor untuk pengembunan. Kemudian yang muncul ialah cairan yang akhirnya diberi basis jel dan jadilah jeli bioetanol yang siap digunakan sebagai bahan bakar. Penelitian kelompok mahasiswa Fakultas Farmasi Unpad yang dilakukan awal maret 2009 itu dijadwalkan rampung pertengahan Juni 2009.

Tim penelitian mengaku belum akan memasarkan produknya, sebab mereka masih mencari formula tepat. Tapi jika selesai, hasil penelitian itu diharapkan dapat dimanfaatkan kalangan home industry dalam menggerakan usaha sebagai pengganti minyak tanah yang harganya terus melambung dan semakin sulit dicari.


EDJ
Sumber : http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/06/11/14573181/jeli.bioetanol.bahan.bakar.dari.jerami

Rumput Laut Jadi Bahan "Biofuel"

Riset rumput laut yang dilakukan dari waktu ke waktu kian lebar menguak kegunaan tumbuhan air ini. Selama ini rumput laut telah banyak digunakan sebagai bahan baku beragam jenis produk, seperti pangan, farmasi, dan kosmetik.

Belakangan ini mulai diketahui manfaat lain rumput laut, yaitu sebagai pereduksi emisi gas karbon dan bahan baku biofuel. Oleh karena itu, untuk mengatasi krisis bahan bakar minyak (BBM) yang saat ini telah berlangsung, rumput laut harus dikembangkan pemanfaatannya sebagai sumber alternatif energi.

Hal itu disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi saat memberi sambutan pada Indonesia Seaweed Forum I di Makassar Sulawesi Selatan, Selasa (28/10). Pertemuan itu diselenggarakan Indonesia Seeweed Society, Asosiasi Petani Rumput Laut Indonesia, Ikatan Fikologi Indonesia, dan Asosiasi Rumput Laut Indonesia.

Mikroalga sebagai biodiesel, menurut Freddy, lebih kompetitif dibandingkan dengan komoditas lain. Sebagai perbandingan, mikroalga (30 persen minyak) seluas 1 hektar dapat menghasilkan biodiesel 58.700 liter per tahun, sedangkan jagung 172 liter per tahun, dan kelapa sawit 5.900 liter per tahun.

Selain itu, katanya, rumput laut juga bukan merupakan bahan konsumsi pokok harian dan budidayanya tidak memerlukan waktu yang lama.

Sebagai daerah yang memiliki kawasan pesisir yang luas, apalagi berada di daerah tropis, Indonesia berpotensi menjadi produsen terbesar rumput laut di dunia. Menurut Freddy, saat ini ada areal seluas 1,1 juta hektar lebih yang berpotensi untuk budidaya rumput laut, tetapi yang termanfaatkan hanya 20 persen.

Menanggapi harapan Freddy, Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo mengatakan, pihaknya akan menyediakan lahan yang memadai untuk budidaya rumput laut. Sulsel memiliki pesisir pantai sepanjang 2.000 kilometer dan hampir 1.000 jumlah pulaunya.

Revitalisasi perikanan

Karena memiliki beberapa keunggulan, Freddy menambahkan, rumput laut pun dapat menjadi komoditas utama dalam program revitalisasi perikanan. Keunggulan itu antara lain peluang ekspornya masih terbuka luas, harganya relatif stabil, dan belum ada kuota perdagangan bagi rumput laut.

Keunggulan lainnya, teknologi pembudidayaannya sederhana sehingga mudah dikuasai petani, siklus budidayanya relatif singkat sehingga cepat memberikan penghasilan dan keuntungan, kebutuhan modal relatif kecil, dan pembudidayaan rumput laut tergolong usaha padat karya. Di sisi lain, rumput laut ramah lingkungan dan tidak ada produk sintetisnya.

Dalam program revitalisasi budidaya rumput laut tahun 2009 ditargetkan tercapai produksi 1,9 juta ton. Untuk itu, Freddy menekankan perlunya penerapan pola pengembangan kawasan budidaya, terutama untuk komoditas Euchema dan Gracilaria. Luas lahan yang diperlukan sampai 2009 adalah 25.000 hektar, yakni 10.000 hektar untuk Gracilaria dan 15.000 hektar untuk Euchema.

Untuk penyediaan bibit akan dikembangkan kebun bibit di sentra atau pusat pengembangan di Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jabar, Jateng, Jatim, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalsel, Kaltim, Sulut, Sulsel, Sultera, Maluku, dan Papua. Selain itu, juga akan dilakukan pengaturan pola tanam dan penyediaan 150 unit mesin praproses untuk perbaikan mutu pascapanen. Dengan pengembangan ini, diperkirakan akan terserap 255.000 tenaga kerja.


Yuni Ikawati

source:http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2008/10/29/08443245/rumput.laut.jadi.bahan.biofuel

Nyamplung, Sumber Energi Biofuel yang Potensial

Berdasar blue print energi nasional tahun 2005 kebutuhan bahan bakar nabati sebagai campuran sebesar 5 persen, untuk memenuhi kebutuhan tersebut memerlukan 720 kiloliter biodiesel.

Setelah mengembangkan biji jarak, pemerintah sedang meneliti sumber energi biofuel dari nyamplung untuk memenuhi kebutuhan energi 720 kiloliter biodiesel.

Hal itu diungkapkan Kepala Badan Litbang Kehutanan Wahjudi Wardoyo dalam seminar nasional Nyamplung, Sumber Energi Biofuel yang Potensial, Selasa (23/9).

"Jika kebutuhan biodiesel sebesar 720 kiloliter disuplai dari nyamplung maka diperlukan sekitar 5,1 juta ton biji nyamplung. Ini potensi industri yang cerah ke depannya," kata Wahjudi.

Ia menegaskan diperlukan luasan panen tanaman nyamplung minimal 254 ribu hektar pada 2025 untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Menurut Deputi II Menteri Perekonomian Bayu Krisnamurti, potensi industri minyak nyamplung ini memang diperuntukkan bagi pemberdayaan industri kecil dan menegah.

"Industri pengolahan minyak nyamplung itu disertai dengan pemanfaatan limbah industri dan produk ikutannya dapat menyerap tenaga kerja lokal yang cukup besar," ujar Bayu.


MYS

Program Mandek, Industri Biofuel Rugi 2 Miliar Dollar AS

Program wajib pasok kebutuhan dalam negeri alias mandatory bahan bakar nabati (BBN) semakin tak jelas. Sesuai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32/2008 tertanggal 13 Oktober 2008, seharusnya program tersebut mulai berjalan awal 2009. Tapi hingga kini tak jelas juntrungannya.

Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) mencatat, total kerugian akibat mandeknya program tersebut mencapai 2 miliar dollar AS. Kerugian itu berasal dari nilai investasi yang sudah ditanamkan untuk membangun pabrik dan penghentian produksi sejak awal 2009 hingga April 2009.

Alhasil, dari 22 produsen biofuel, sudah 21 perusahaan memutuskan menutup usahanya. "Inilah bukti keterpurukan industri," tandas Purnadi Djodjosudirjo, Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi), Senin (11/5).

Satu-satunya produsen biofuel yang masih beroperasi adalah PT Wilmar International. Wilmar adalah pemasok biofuel untuk PT Pertamina dengan kapasitas tak lebih dari 7.000 ton per bulan. Adapun perusahaan biofuel yang menghentikan produksinya, antara lain Sinar Mas Group, Sampoerna Group, Asian Agri Inti Nusantara, dan Rajawali Nusantara Indonesia (RNI).

Penghentian produksi ke-21 perusahaan terjadi secara bertahap. Sekitar 17 perusahaan biofuel berhenti produksi pada pertengahan tahun lalu, sebelum ada keputusan mandatory BBN. Empat perusahaan lainnya menghentikan produksi sejak akhir 2008 hingga kuartal I-2009.

Para produsen menghentikan produksi awalnya lantaran tak sanggup lagi menanggung kenaikan biaya produksi akibat tingginya harga bahan baku. Kerugian kian besar setelah program BBN mandek. Para produsen pun memutuskan menutup usahanya karena ketidakpastian pasokan BBN akibat ketidakjelasan pelaksanaan mandatory BBN, terutama dari beberapa sektor yang sebelumnya masuk program mandatory BBN, antara lain sektor transportasi, industri, dan kelistrikan.

Direktur Industri Kimia Hulu Departemen Perindustrian Alexander Barus mengakui, kinerja industri biofuel di dalam negeri semakin terpuruk. Hal ini terlihat dari utilisasi industri kini di bawah 10 persen.

Terkait belum keluarnya formulasi harga biofuel, Alex mengaku tak mengetahuinya. Menurutnya, pihak yang berwenang adalah Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. "Kalau tidak ada ketetapan harga, industri biofuel selamanya tidak akan bisa berproduksi karena industri terintegrasi dengan implementasi kebijakan pengembangan energi alternatif," imbuhnya. (Nurmayanti/Kontan)

source:http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/05/12/07552626/program.mandek.industri.biofuel.rugi..2.miliar.dollar.as

Harga Tak Jelas, Industri Biofuel Mati Suri

Tak kunjung keluarnya aturan penerapan harga membuat pengembangan bisnis biofuel mandek.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia Paulus Cakrawan menegaskan, pemerintah mesti mengeluarkan peraturan presiden terkait penetapan harga biofuel untuk menggairahkan kembali industri yang sedang mati suri. "Harusnya sejak bulan-bulan lalu sudah terbit,” kata Paulus di Jakarta, Jumat (3/7).

Paulus berharap, aturan itu bisa keluar sebelum pemilu presiden. Ia khawatir, jika lama tertunda, pengembangan biofuel nasional bakal semakin tidak jelas arahnya.

Paulus menambahkan, saat ini, harga biodiesel dari minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) ditentukan berdasarkan kesepakatan tanpa patokan yang resmi. Akibatnya, produsen menilai penetapan harga tidak sesuai dengan biaya produksi. "Tidak satu pun pabrik biodiesel yang beroperasi saat ini," tegasnya.

Bahkan, ia mengatakan, pabrik biodiesel yang menjual produknya dengan harga Mean Oil Platt Singapore alias MOPS, seperti Wilmar, tidak sanggup berproduksi. Harga biodiesel saat ini dihargai sekitar Rp 5.000 per liter. Padahal, harga CPO masih berkisar Rp 6.000 per liter. "Seharusnya biofuel dibeli dengan harga keekonomian," kata Paulus. (Epung Saepudin/Kontan)

source: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/07/03/15142490/Harga.Tak.Jelas..Industri.Biofuel.Mati.Suri

Investor Biofuel Incar Papua

Emeral Planet Biofuel, salah satu perusahaan asing yang bergerak di bidang program penyelamatan hutan, berminat untuk menanamkan investasi di Kabupaten Mimika, Papua.

Pimpinan Emerald Planet Indonesia, Tobias C Garritt di Timika, Sabtu (26/7) sebagaimana dikutip dari Antara, mengatakan perusahaan Emerald Planet Biofuel dan New Forest memilih tiga kabupaten di Papua sebagai proyek percontohan penyelamatan hutan dengan mengambil bahan karbon dari hutan di wilayah Merauke, Mimika, dan Memberamo.

"Adapun proyek pengambilan karbon akan dipusatkan di Kampung Nayaro Distrik Mimika Baru. Proyek itu untuk menyelamatkan hutan Papua dari kegiatan pembalakan liar," kata Garritt.

Sebelumnya, perusahaan Emerald Planet Biofeul sudah melakukan uji coba penanaman pohon jarak di Kabupaten Jayapura dan Biak Numfor. Bahkan, perusahaan itu telah menandatangani kerja sama dengan Pemerintah Provinsi Papua dalam rangka Papua Reduction of Emission from Deforestion and Degradation (REDD) dan carbon trade (perdagangan karbon) untuk mengurangi jumlah emisi akibat penggundulan dan degradasi hutan di Papua.

"Kami akan melakukan sosialisasi kepada pemerintah daerah dan masyarakat setempat terhadap pemanfaatan carbon trade. Kami melindungi dan menyelamatkan hutan dengan memberikan kompensasi kepada masyarakat setempat, bahkan akan memberikan dana perwalian," katanya.

Sementara itu, Asisten I Bidang Pemerintahan Setda Mimika, Marthin Giay sangat mendukung program kampanye penyelamatan hutan guna meminimalisasikan kasus perambahan hutan di Papua, khususnya di Mimika.

"Pemerintah daerah sangat setuju dengan kampanye penyelamatan hutan di Papua, karena selama ini sudah banyak hutan di Papua yang dijarah. Pemerintah berharap masyarakat Kampung Nayaro mendukung dan menerima kehadiran pilot project dari lembaga Emerald Planet Biofuel," katanya.

Menurut Giay, Pemkab Mimika akan membicarakan dengan pemerintah pusat untuk memberikan kemudahan perizinan bagi Emerald Planet Biofuel guna merealisasikan proyek perdagangan karbon di Mimika. Proyek ini hingga kini masih sangat langka di Indonesia, terutama di Papua.

Senada dengan itu, Kepala Distrik Mimika Baru James Noldy Sumigarmengatakan, Pemkab Mimika telah menandatangani kerja sama dengan PT Merdeka Timber untuk kegiatan penebangan hutan yang akan ditanam kembali dengan kelapa sawit di Kampung Nayaro.

Lain halnya dengan Kepala Kampung Nayaro, Herman Apoka. Ia menegaskan masyarakatnya sangat mendukung setiap program dan kegiatan, termasuk kehadiran investor untuk mengelola hutan di wilayah Nayaro sehingga memberi manfaat ekonomis bagi masyarakat setempat.

source :http://www.kompas.com/read/xml/2008/07/26/18445063/investor.biofuel.incar.papua
google918401c9860b4077.html