Selasa, 18 Agustus 2009

Kulit Kacang Untuk Briket Energi

Edy Gunarta (35) meraih Citi Micro-Entrepreneurship Award (CMA) 2008 bagi pengusaha kecil yang diselenggarakan oleh Citi Peka sebagai penyandang dana dan UKM Center Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI). Perajin briket dari Bantul, Yogyakarta dan pengusaha makanan, pestisida dan pupuk organik ini meraih penghargaan untuk kategori kerajinan.

Edy memulai usaha kerajinan briket yang terbuat dari kulit kacang dan batang jagung dengan modal Rp 1,5 juta. Baru satu tahun merintis usaha, kini Edy telah menjangkau pasar di daerah Yogyakarta, dan sekitarnya. Dia mengandalkan promosi briket seharga Rp 2.500 per kilogram ini melalui media yang kerap bertandang ke rumahnya.
Awalnya kulit kacang dijual dengan harga yang minim sekali. Lalu pada awal 2007 Edi berinisiatif mencari cara agar kulit kacang tersebut ada nilai nominalnya.

Edi mengatakan, ide ini muncul dari pengalaman rumah tangganya yang bermula menggunakan serbuk gergaji, lalu dia mencoba mencari cara lain yaitu menggunakan kulit kacang tanah. Didukung oleh Pemerintah Desa yaitu Usaha Unit Desa yang mengadakan pelatihan-pelatihan, ia semakin mendalami potensi ini.

Edi mendapatkan pasokan kulit kacang tanah dari petani dalam bentuk kulit kacang tanah yang kering. Untuk bijinya langsung diolah ke tingkat yang lebih tinggi, dan kulitnya dibuat bahan baku briket.

Untuk perekatnya, Edi menggunakan tepung tapioka dengan perbandingan 1 : 10. Diawali proses pengarangan, lalu kulit ditepung, digiling menjadi serbuk, lalu dicampur dengan adonan, dan proses terakhir adalah dipres sesuai dengan bentuk yang diinginkan.

Menurut Edi, keistimewaan menggunakan briket ini adalah jelaga rumah tangga tidak hitam tapi putih, praktis, mudah dipindah ke mana-mana, lebih murah daripada briket batubara. Untuk memasak 2 liter air dengan durasi masak 11-12 menit, lebih cepat 2-3 menit dengan minyak tanah atau arang biasa.

Untuk pasokan kulit kacang, Edi mempunyai dua titik penggilingan dan di wiliyah Bantul ada lima titik penggilingan untuk pengupasan kacang tanah. Limbah penggilingannya bisa dijadikan bahan baku briket.

Untuk tenaga kerjanya, Edi mempekerjakan pemuda-pemuda dari daerah sekitarnya yang sudah putus sekolah ataupun pengangguran. Ia menjadikan mereka sebagai relasi untuk dapat bekerja sama. Tujuannya untuk meningkatkan sumber daya manusia sekaligus membuka lapangan pekerjaan. Sungguh suatu ide yang cemerlang.

Medco Energy Mengembangkan Bio-Ethanol

Produktifitasnya ditargetkan mencapai 180 kilo liter perhari, atau sekitar 60 ribu kilo liter pertahun. Pabrik itu diharapkan menjadi alternatif energi terbarukan, yang ramah lingkungan.

Menurut Djatnika S Puradinata, Presiden Komisaris Medco Energy Chemicals, bio-ethanol bisa dimanfaatkan 100% sebagai bahan bakar, ataupun dicampur dengan bahan bakar fosil, seperti bensin dan solar.

Hal itu disampaikan oleh Djatnika saat membahas bio-ethanol di acara Green Talk, 89.2 FM Green Radio.

GR (Green Radio): Apa itu bahan bio-ethanol?

DJ (Djatnika): bio-ethanol sama dengan alkohol, berbahan kimia. Disebut bio-ethanol karena bahan bakunya berasal dari bahan biologi, seperti singkong, jagung, tebu dan lain-lain. bio-ethanol dapat meningkatkan oktan number dari bensin, sehingga lebih ramah lingkungan dibandingkan penggunaan bensin secara langsung. Artinya, CO2 yang dihasilkan dari bio-ethanol akan lebih rendah dari emisi yang dikeluarkan bensin dan solar.

GR: Penggunaan bio-ethanol di kendaraan?

DJ: Saat ini, pemerintah mengharuskan pencampuran bio-ethanol ke bahan bakar. Jumlahnya yaitu 1% ke dalam bensin, dan 5% dalam solar. Tidak hanya untuk campuran, bio-ethanol pun bisa digunakan semuanya sebagai bahan bakar. Hal itulah yang membuat unik bio-ethanol.

Namun di Indonesia, pelaksanaan 100% bio-ethanol sebagai bahan bakar belum siap. Berbeda di Brazil, yang sudah menggunakan 100% bio-ethanol dengan memodifikasi kendaraan terlebih dahulu.

GR: Apa kelebihan menggunakan bio-ethanol 100%?

DJ: Segi pembuatan akan lebih murah karena produksinya pun semakin banyak. Hal itu akan berdampak harga untuk dibeli warga pun akan menjadi murah. Hal itu terjadi di Brazil, harga jual bio-ethanol 100% lebih murah dibandingkan bio-ethanol yang dicampur.

GR: Mengapa Medco tertarik mengembangkan bio-ethanol?

DJ: Bio-ethanol berasal dari sumber daya alam yang dapat diperbarui, kebalikan dari bahan bakar fosil. Bahan baku bio-ethanol pun berlimpah di Indonesia, seperti jagung, tebu, singkong, sagu, hingga nira. Yang dikembangkan oleh Medco berasal dari singkong.

GR: Lalu, apa yang sedang dipersiapkan Medco?

DJ: Kami sedang membuat pabrik bio-ethanol, berkapasitas 180 kilo liter perhari atau 60 ribu kilo liter pertahun, di Kota Bumi, Lampung Utara. Pemilihan tempat ini karena disana berlimpah ribuan hektar tanaman singkong.

GR: Penggunaan singkong seperti apa?

DJ: Kami mengembangkan singkong yang bobotnya bisa mencapai 30 kg per satuannya. Singkong olahan tersebut dipilih agar tidak mengganggu singkong untuk pangan warga. Meskipun singkong untuk pangan warga itu bisa menjadi bahan baku bio-ethanol.

GR: Penyediaan singkong itu dari Medco saja atau dari petani?

DJ: Kita bermitra dengan petani yang ada, artinya kita menampung singkong dari mereka. Medco membantu agar pasokan singkong tetap stabil. Caranya dengan membantu menyediakan bibit, penyuluhan ke warga bagaimana cara menanam yang baik, memberi pupuk, hingga proses panennya. Semuanya dilakukan agar petani mampu menghasilkan singkong yang baik.

GR: Proses pembuatan bio-ethanol-nya ramah lingkungan, tidak?

DJ: Tentu saja. Semua tahapan pembuatannya memperhatikan hal itu. Mulai dari proses fermentasi, limbahnya dimanfaatkan jadi pupuk, dikeringkan jadi pakan ternak, hingga dijadikan energi lagi bila dibakar. Bahkan gas metan yang dihasilkan dari proses fermentasi itu kita gunakan untuk turbin menggerakan listrik. Sebisa mungkin Medco akan meminimalisir limbah tersebut.

GR: Bagaimana dengan harga?

DJ: saat ini, biaya produksi masih ada di atas harga penjualan bensin. Sehingga pemerintah, dalam hal ini Dirjen Migas, merencanakan memberikan subsidi pada bahan bakar bio-ethanol. Hal ini terkait suppy-demand yang masih kecil, meskipun pabrik Medco saat ini terbesar di Indonesia. Angka itu cukup kecil bila dibandingkan di Brazil yang telah mencapai produksi 100rb kilo liter pertahun. Bahkan Brazil siap membangun pabrik berkapasitas lebih dari 400 ribu kilo pertahun. Limpahan kapasitas itu membuat harga bio-ethanol terjangkau.

GR: Ada rencana mengembangkan pabrik bio-ethanol di Papua?

DJ: Iya, kami akan membangun pabrik yang lebih besar disana. Hal itu untuk menekan biaya produksi lebih rendah. Bahan baku yang dipakai adalah tebu dan sorgum. Keduanya memiliki potensi sumber energi lainnya yang bisa dimanfaatkan. Sorgum menghasilkan buah yang juga menghasilkan bio-ethanol. Begitu pula tebu, dari proses olahan, tebu menghasilkan bagas atau sisa perasan tebu. Sisa tebu itu dapat menghasilkan listrik dari uap bagas itu.

Diyakini Indonesia bisa menjadi sumber energi terbarukan yang besar, dan menyaingi Brazil. Hal itu bisa tercapai selama Indonesia bisa mengelola sumber daya manusia, potensi alam dan teknologi.

Jumat, 14 Agustus 2009

Aren Sebuah Jawaban Krisis Energi atau Pesaing Kebutuhan Makanan???

Pada Selasa 6 Desember lalu Kementrian Negara Riset dan Teknologi mengadakan Workshop yang bertajuk Budidaya dan Pemanfaatan Aren Untuk Bahan Pangan dan Energi, workshop ini diikuti oleh para peneliti dan praktisi aren dan energi terbarukan, akademisi dari berbagai universitas, serta berbagai departemen baik pusat maupun daerah diseluruh Indonesia, sementa untuk pembicara terdiri dari akademisi, dan ahli energi terbarukan serta praktisi, pengusaha dan pengembang bio ethanol maupun petani dan pengrajin gula aren.

David Alloreung Pembicara kunci yang merupakan Peneliti pada Puslitbang Tanaman Perkebunan, Departemen Pertanian dalam pemaparanya menjelaskan bahwa aren merupakan tanaman serba guna yang mempunyai potesi besar dalam bahan subtitusi pembuat gula maupun bioethanol, sayangnya sampai saat ini pohon aren yang tumbuh di Indonesia sebagian besar merupakan pohon yang umumnya tumbuh secara liar serta sampai saat ini belum ada penelitian yang memadai tentang pohon aren unggul.

Aren (Arenga pinnata Merr) adalah salah satu keluarga palma yang serbaguna, dapat tumbuh pada ketinggian 0-1500 meter di atas permukaan laut. Sekalipun lebih dikenal sebagai tanaman hutan, aren telah mulai dibudidayakan secara baik oleh suku Batak Toba sejak awal tahun 1900. Tanaman ini tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia pada berbagai kondisi agroekososistem. Penyebaran pertumbuhan aren umumnya berlangsung secara alamiah. Di beberapa tempat, terutama yang memiliki kebiasaan membuat gula atau mengonsumsi minuman beralkohol, aren sudah sering ditanam secara sengaja, meskipun umumnya sebagai tanaman pinggiran atau tanaman sela di antara tanaman pepohonan yang sudah ada. Meskipun para petani penderes mengakui bahwa gula yang dihasilkan dari nira aren sangat menolong ekonomi mereka, perhatian pemerintah terhadap upaya pengembangan tanaman ini sangat terbatas dan tidak konsisten. Hal yang sama dijumpai pada lembaga-lembaga penelitian, penelitian tanaman aren umumnya dilakukan secara insidentil.

Berkaitan dengan sumber energi terbarukan, yang sudah lama disuarakan, kita ternyata tidak memberikan respons secara cepat. Krisis energi di akhir 2005 yang dibarengi dengan fenomena kekacauan iklim telah berhasil memicu kesadaran semua pihak untuk mengembangkan energi terbarukan dan lebih ramah lingkungan. Dalam konteks ini, aren memiliki potensi yang sangat besar sebagai sumber utama bioenergi yang ramah lingkungan di samping sebagai penghasil pangan dan tanaman konservasi.

Kebutuhan bahan bakar premium terus meningkat sejalan dengan kemajuan di bidang ekonomi dan impor meningkat tajam dari sekitar 0.5 juta pada tahun 1998 menjadi sekitar 6 juta KL pada tahun 2004 ketika kebutuhan bahanbakar jenis ini telah mencapai 17 juta KL/tahun. Jika digunakan campuran alkohol sebesar 10 % berarti kebutuhan alkohol akan mencapai 1.7 juta Kl/tahun atau sekitar 4.6 juta liter/hari. Masalahnya adalah hampir sama sumber bahan baku biofuel bersaing dengan kebutuhan pangan di samping persaingan pemanfaatan lahan untuk menghasilkan bioenergi. Dalam konteks ini, aren dapat berperan sebagai salah satu sumber bioenergi yang penting mengingat produktivitasnya yang sangat tinggi sehingga hemat pemakaian lahan. Disamping itu, dapat ditanam di antara tanaman yang sudah ada atau sebagai komponen tanaman untuk reboisasi atau penghijauan sehingga tidak bersaing dengan komoditas pangan.

Tanaman aren memiliki daya adaptasi terhadap berbagai kondisi lahan dan agroklimat, memiliki toleransi yang tinggi dalam pertanaman campuran termasuk dengan tanaman kayu, tumbuh relatif cepat serta memiliki perakaran dan tajuk yang lebat sehingga sangat cocok untuk tujuan konservasi tanah dan air, merupakan tanaman serbaguna karena hampir semua bagiannya bernilai ekonomi dan tidak membutuhkan pemeliharaan intensif sehingga cocok bagi petani miskin di lahan marginal. Tanaman aren juga menghasilkan biomas di atas tanah yang sangat besar satu hingga 2 ton/pohon, sehingga dapat berperan penting dalam CO2 sequestration.

Sumber: http://kebunaren.blogspot.com/Desember 25, 2008

Aren Sangat Potensial Menghasilkan Biofuel dibanding yang Lain

Tanaman aren (Arenga Pinnata) sangat potensial menghasilkan biofuel (bahan bakar nabati) dan perlu dikembangkan sebagai perkebunan besar seperti halnya kelapa sawit atau jarak pagar.

“Kelebihan tanaman aren ini bisa dipanen setiap hari sepanjang tahun, menghasilkan lebih banyak dan cepat bahan bakar dibanding tanaman lain,” kata Kepala Bagian Jasa Iptek Puslit Kimia LIPI Dr Hery Haeruddin di Jakarta, Senin.

Pohon aren, ujarnya, tidak seperti tanaman lain penghasil bioethanol (bahan bakar pengganti bensin) yaitu singkong yang memiliki masa panen enam bulan atau tebu tiga bulan untuk sekali panen saja serta keterbatasan lainnya. Aren, lanjut dia, bisa dipanen terus-menerus di mana setiap satu pohon aren bisa menghasilkan nira 1-20 liter per hari yang 10 persennya bisa diproses menjadi ethanol.

“Setiap hektar bisa ditanami 75-100 pohon sehingga setiap hektar bisa menghasilkan 1.000 liter nira per hari atau sekitar 100 liter ethanol per hari. Bandingkan dengan sawit yang satu hektarnya hanya menghasilkan maksimal enam ton biodiesel per tahun,” katanya.

Pada masa lalu penanaman aren, tanaman asli Indonesia ini, sangat sulit dan hanya bisa dilakukan oleh musang, tetapi kini Puslit Biologi LIPI telah mampu membudidayakannya dan menyediakan bibitnya, ujarnya.

Dari mulai bibit hingga menjadi tanaman aren yang menghasilkan, ia akui, memerlukan 6-8 tahun, namun demikian angka itu tidak terlalu lama jika dibandingkan dengan tanaman lain seperti kelapa sawit yang memerlukan waktu 5-6 tahun untuk menghasilkan minyak sawit.

Menurut dia, getah nira yang menetes dari bunganya, lebih mudah dijadikan bioethanol dibanding dijadikan gula aren. Getahnya cukup difermentasi (diberi ragi/mikroba) lalu setelah menjadi alkohol dipisahkan dari airnya.

Tanaman aren selain bisa diproses menjadi subtitusi bensin juga baik dalam hal menyimpan air tanah serta mencegah bencana banjir dan longsor. Saat ini aren banyak ditanam antara lain di Rangkas Bitung, Cianjur Selatan, Ciamis, hingga di Sulawesi Utara.

Sumber: www.republika.co.id , 17-01-2008 10:11

Aren, Sumber Energi Terbarukan Murah

JAKARTA : Tahun ini, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menargetkan pembuatan prototipe mesin destilasi aren dengan kapasitas 200 liter/hari. Aren yang sebagian besar dikonsumsi dalam berbagai bentuk produk pangan dan minuman ini, berpotensi diolah menjadi ethanol (bahan bakar terbarukan).

“Mesin destilasi ini memiliki kemampuan operasional hingga 24 jam. Harganya cukup murah sekitar Rp 15 juta rupiah. Namun, jika dilengkapi dengan fasilitas evaporator untuk uapkan ethanol yang mampu tahan lama, bisa mencapai Rp 20 juta,” ujar Dr Arief Budiarto, peneliti Balai Etahonol BPPT Lampung saat dihubungi melalui telepon beberapa waktu lalu.

Sedangkan desain bangunan yang diperuntukkan untuk pengolahan aren, kata Arief, tergantung masing-masing kebutuhan pengusaha aren tersebut. “Semakin dekat lokasi perkebunan, maka nilai energi yang dihasilkan bisa lebih murah,” ujarnya.

Sementara itu, menurut Hari Purwanto, Asisten Deputi Program Tekno Ekonomi Kementerian Negara Riset dan Teknologi, prospek aren sebagai bahan bakar terbarukan sangat baik. “Nira aren sebagai sumber energi terbarukan masuk buku putih Ristek untuk program 2010-2015,” ujarnya.

Perkebunan aren tersebar di beberapa wilayah Indonesia, seperti Minahasa (Sulawesi Utara), Rejanglebong (Bengkulu), serta di Jawa Timur. “Sebagian diolah sebagai minuman keras, bahkan di Jawa Timur, pohonnya ditebangi untuk dibuat campuran produk bihun,” ujarnya.

Dibanding singkong, nilai energi dalam bentuk ethanol yang dihasilkan dari aren, kata Hari Purwanto, jauh lebih rendah. “ Satu hektar singkong hanya mampu memproduksi 4500 liter etahanol. Sedangkan, dari aren bisa menghasilkan 56 ton ethanol,” ujarnya.

Ethanol (Ethyl Alkohol) dengan rumus molekul adalah C2H5-OH sudah dikategorikan sebagai energi komersial. Saat ini, Brasil tercatat sebagai produsen ethanol terbesar dunia.

Perusahaan-perusahaan otomotif kini, bahkan sudah memproduksi mobil dengan bahan bakar ethanol, seperti Volkwagen AG. Mesin yang bisa memproses bahan bakar ethanol disebut Flex-Fuel, namun mesin yang menggunakan bahan bakar biasa (minimal nilai Octan 90) juga dapat dikonversi dengan bioethanol, dengan campuran premium 80% – 90%.

Campuran tersebut dapat meningkatkan nilai octan yang lebih tinggi sehingga dapat dikategorikan bahan bakar bersih lingkungan. Untuk premium, perkiraan nilai octan 88 ditambah ethanol 10% – 20% (dengan nilai octan 129) sehingga dapat menghasilkan nilai octan sekitar 91 – 93.

Sebuah perusahaan di Brasil, bahkan telah memperkenalkan pesawat terbang kecil EMB 202, yang merupakan pesawat terbang pertama di dunia menggunakan bahan bakar ethanol (Alcohol), dan saat ini lebih dari 300 pesawat terbang kecil di Brasil telah memakai ethanol sebagai bahan bakar yang terbuat dari tebu.

Ethanol saat ini berasal dari beberapa sumber, Brasil dari tebu, Amerika Serikat dari Jagung, sedangkan di Indonesia umumnya berasal dari tebu, sorghum, termasuk singkong. (Lea)

Sumber: http://www.technologyindonesia.com/02 Januari 2008

“Mengebor” Minyak di Pohon Aren

Krisis ekonomi global dan ketergantungan terhadap impor, ditambah kapasitas produksi minyak dalam negeri dari waktu ke waktu yang terus menurun, menuntut pemerintah mengembangkan bahan bakar alternatif yang lebih murah dan tentu harus ramah lingkungan.

Muncullah berbagai pilihan. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yang memiliki segudang peneliti, mulai menyebut beberapa alternatif, di antaranya mengembangkan energi biomassa, biodiesel, dan bioetanol. Guna mengikat rencana tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti BBM. Namun, peraturan ini dinilai belum cukup, karena hanya menekankan penggunaan batu bara dan gas sebagai pengganti BBM.

Pemerintah pun pada 25 Januari 2006, mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai bahan baskar lain. Sejak Inpres itu dikeluarkan, eksplorasi sumber-sumber alam alternatif dimulai. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pun hingga saat ini gencar memasyarakatkan penggunaan bahan bakar nabati untuk penghematan energi dan penyelamatan lingkungan.

Kalau kita kembali menelusuri sejarah, Rudolf Diesel, sang penemu mesin diesel, memang sejak awal merancang mesin diesel yang berbahan bakar minyak kacang. Rudolf lalu mendemonstrasikan temuannya itu dalam World’s Exhibition di Paris pada tahun 1900. Tetapi dalam perkembangannya, justru bahan bakar solar dari hasil olah minyak bumi yang banyak digunakan.

Dengan harga yang murah dan mendapat subsidi pemerintah, BBM menjadi pilihan satu-satunya, sampai akhirnya krisis global mendongkrak harga minyak ke level tertinggi dalam sejarah. Banyak pihak di negeri ini berteriak, menuntut pengembangan energi alternatif.

Yuddy Chrisnandi dalam Konvensi Calon Presiden RI 2009-2014 di Jakarta, Sabtu (7/3), mengatakan, kalau pemerintah salah mengelola, tahun 2040 minyak bumi akan habis. Calon presiden muda itu sangat cemas, bagaimana nasib bangsa ini kalau minyak bumi habis.

Marwah Daud, capres lain dari Dewan Integritas Bangsa (DIB) mengatakan, negara kita ini sangat kaya. Sumber daya alam melimpah. Tetapi kita miskin, karena pemerintah salah urus. Namun, jangan khawatir, ada banyak alternatif jika stok minyak bumi habis.
Saat ini, tegas Marwah, dirinya tengah mengembangkan bio- etanol di Garut, Jawa Barat. “Kita tidak akan jual singkong, tetapi bioetanol,” katanya.

Pemanfaatan bahan bakar nabati tentu membawa sebuah harapan besar akan terjadinya perubahan di negara ini. Selain meningkatkan devisa, pemanfaatan bahan bakar nabati juga akan membuka lapangan kerja baru dan membantu mengurangi angka kemiskinan. Selain itu, bahan bakar nabati ini juga diharap bisa mengurangi polusi udara akibat pembuangan gas dari kendaraan bermotor yang berbahan bakar minyak.

Namun, banyak pihak cemas, eksplorasi dan eksploitasi energi alternatif ini akan merusak hutan, melemahkan ketahanan pangan, dan merusak pasar domestik. Ada dua alternatif sumber biodiesel yang paling prospesktif saat ini, yakni minyak kelapa sawit dan jarak pagar. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, dibutuhkan lahan yang luas. Konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit akan membuat hutan kita rusak. Aktivis lingkungan seperti Walhi memperkirakan industri biodiesel akan mengulangi kesalahan seperti yang telah dilakukan oleh industri pulp dan kertas, karena merusak hutan.

Program bahan bakar nabati juga akan mengakibatkan naiknya harga komoditas pertanian tertentu, sebagai dampak konversi besar-besaran tanaman pangan menjadi tanaman penghasil biofuel.

Dampak lain yang tidak kalah penting adalah ancaman kegagalan menciptakan pasar domestik. Ketika konversi lahan terlaksana, hasil panen melimpah, sementara pemerintah tidak menyiapkan teknologi pengolahan yang modern, maka kita hanya akan menjadi penyedia dan pengekspor bahan baku energi alternatif ke negara-negara industri. Kalau ini yang terjadi, sia-sia upaya mencari energi alternatif.

Pohon Aren

Prabowo Subianto, calon presiden dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) menyadari betul dampak dari penerapan energi alternatif. Dalam pemaparan 8 program aksi untuk kemakmuran rakyat, di Jakarta, Selasa (10/3), ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) itu mengatakan, pihaknya telah menyiapkan program kemandirian energi.

Konsep Prabowo sederhana saja. Dia akan membuka 2 – 4 juta hektare hutan aren, dengan sistem tanam tumpang sari, untuk produksi bahan bakar etanol sebagai pengganti BBM. Pembukaan lahan ini akan menjadikan Indonesia sebagai negara pengekspor bahan bakar nabati setelah 7 tahun masa tanam. Dalam kalkulasinya, empat juta hektare hutan aren menghasilkan sekitar 56 juta mt etanol/tahun.

Mengapa pohon aren? Ide ini muncul ketika ia mengamati beberapa negara Amerika Latin yang beralih menggunakan energi alternatif, seperti Kolombia, Brasil, dan Tanzania di Afrika Timur. Setelah diselidiki, kata Prabowo, ternyata tanaman aren seluas empat juta hektare yang ada di Kolombia itu berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara. “Brasil kirim pakar ke Minahasa. Tanzania kirim menteri ke Minahasa untuk meneliti dan belajar program etanol dari aren. “Lalu Indonesia?” tanya Prabowo kecewa.

Indonesia memang kaya akan sumber alam. Bahan bakar nabati bisa dari apa saja. Kita tidak perlu lagi mengebor bumi untuk mengais sisa-sisa minyak. Saatnya mengebor minyak yang ada dari energi alternatif. Ada kelapa sawit, jarak pohon, singkong, aren, kemiri, tebu, jagung, sagu, dan sebagainya. Semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan.

Sumber: Suara Pembaruan, Jumat 13 Maret 2009: http://alumnifatek.forumotion.com/

Potensi Pengembangan Pohon Aren Di Indonesia (solusi permasalahan kemandirian energi dan lingkungan)

Program bagi-bagi uang yang digagas pemerintah sekarang tidak akan menyelesaikan masalah. Habis uang, kemiskinan tetap akan ada. Di sisi lain kita punya hutan yang menjadi paru-paru dunia, yang harus kita selamatkan. Untuk mengatasi tantangan tersebut, kami menawarkan gagasan pengembangan budi daya aren di Indonesia. Pohon Aren ini adalah sumber energi yang sangat menjanjikan. Aren ini dapat menghasilkan bermacam produk, yang ujungnya dapat dijadikan bahan bakar, etanol. Hebatnya, Pohon ini akan lebih bagus pertumbuhannya jika ditanam diantara pohon-pohon yang lain. Selain itu juga aren ini bisa menahan erosi, menambah subur tanah, mengendapkan air lebih banyak, dan menghasilkan bio etanol.

Aren merupakan tanaman yang sudah lama dimanfaatkan oleh penduduk Indonesia dengan produk utama berupa gula merah. Aren memiliki berbagai nama seperti nau, hanau, peluluk, biluluk, kabung, juk atau ijuk (aneka nama lokal di Sumatra dan (Semenanjung Malaya); kawung, taren (Sd.); akol, akel, akere, inru, indu (bahasa-bahasa di Sulawesi); moka, moke, tuwa, tuwak (di Nusa Tenggara), dan lain-lain.

Aren dapat tumbuh di daerah tropis dengan baik, namun hingga saat ini pengembangan potensi Aren di Indonesia masih sangat minim, hal ini ditunjukkan dengan minimnya teknologi pengolahan Aren, minimnya lahan Aren, produk turunan yang belum berkembang dan belum banyaknya pengelolaan Aren secara Industri di Indonesia.

Nira aren di beberapa daerah selain sebagai bahan pemanis, melalui proses fermentasi, Nira diubah menjadi minuman beralkohol yang dikenal dengan nama tuak. Alkohol yang dihasilkan secara ilmiah dikenal dengan nama Etanol (Bioetanol), Nira dapat diubah menjadi bioetanol dengan bantuan fermentasi oleh bakteri ragi (Saccharomyces cereviseae) dimana kandungan gula (sukrosa) pada nira dikonversi menjadi glukosa kemudian menjadi etanol.

Nira Aren memiliki kelebihan dibandingkan dengan bahan baku bioetanol lainnya seperti singkong dan jagung (tanaman penghasil pati) dikarenakan tahap yang dilakukan cukup satu tahap saja yaitu tahap fermentasi, sedangkan bioetanol yang berasal dari tumbuhan berpati memerlukan tahap hidrolisis ringan (sakarifikasi) untuk merubah polimer pati menjadi gula sederhana.

Aren memiliki kelebihan dibandingkan dengan tebu, dimana pohon aren lebih produktif menghasilkan nira dibandingkan dengan tebu dimana produktivitasnya bisa 4-8 kali dibandingkan tebu dan rendemen gulanya 12%, sedangkan tebu rata-rata hanya 7% .

Rata-rata produksi nira aren ialah sebesar 10 liter nira/hari/pohon bahkan pada masa suburnya untuk beberapa jenis pohon Aren (Aren Genjah) satu pohon perhari dapat menghasilkan nira aren sebesar 40 liter, dengan kalkulasi sederhana jika dalam satu hektar dapat tumbuh 200 pohon Aren dan tiap harinya disadap 100 pohon maka dalam satu hari dapat menghasilkan nira aren sebesar 1000 liter/ha/hari dengan rule of thumb konversi glukosa menjadi ethanol sebesar 0,51 g ethanol/g glukosa maka dalam satu hari bioethanol perhektar yang dapat diperoleh ialah 500 liter/hari.

Dari segi penumbuhan tanaman aren tidak tidak membutuhkan pupuk untuk tumbuh sehingga Aren dapat bebas dari pestisida dan lebih ramah lingkungan, selain itu Aren dapat ditanam di daerah lereng atau perbukitan serta tahan penyakit sehingga dibandingkan dengan Tebu pengelolaan Aren jauh lebih mudah. Tanaman aren juga lebih efektif jika ditanam secara tumpang sari. Dengan metode penanaman tersebut, petani aren juga dapat menikmati penghasilan tambahan dari tanaman tumpang sari lainnya. Tumpang sari juga bisa dimanfaatkan untuk melakukan konservasi terhadap berbagai jenis tumbuhan di hutan Indonesia.

Bahan Bakar Nabati yang dihasilkan aren seperti kita ketahui merupakan bahan bakar yang ramah lingkungan, hal ini disebabkan emisi yang dikeluarkan khususnya emisi karbon sangatlah rendah, sehingga secara langsung dapat menjaga lingkungan sekitar pengguna bahan bakar dan secara tidak langsung dapat mengurangi efek dari pemanasan global (Perubahan iklim).

Selain itu pohon Aren merupakan pohon berdaun hijau, sehingga dengan menanam Aren, kita ikut serta dalam menumbuhkan paru-paru dunia dan mengurangi atau mencegah pemanasan global akibat emisi gas CO2 yang dihasilkan oleh aktivitas di bumi melalui proses fotosintesis. Dengan kondisi lingkungan yang semakin baik, kita dapat menyediakan masa depan lebih baik bagi anak-anak kita.

Pengembangan aren juga dapat menimbulkan multiplier effect dalam hal penyerapan tenaga kerja. Satu hektare perkebunan aren akan menyerap tenaga kerja sebanyak 6 orang. Jika kita membuka 4 juta Hektare perkebunan aren, maka kita dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi 24 juta orang. Belum lagi jika jumlah tersebut ditambah dengan tenaga kerja yang dibutuhkan pada industri pengolahan hingga ke pemasaran. Dengan terbukanya lapangan kerja, para ayah akan mampu menafkahi keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya.

Sumber: http://perubahanuntukrakyat.com/2009/03/11/potensi-pengembangan-pohon-aren-di-indonesia-solusi-permasalahan-kemandirian-energi-dan-lingkungan/

Prabowo Subianto: Swasembada Energi dengan Pohon Aren

Sumber: RABU, 11 MARET 2009, 14:02 WIB

Prabowo Subianto saat acara ulang tahun partai Gerindra (VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis); Indonesia tidak perlu lagi mengimpor 900 ribu barel bahan bakar tiap tahun.

VIVAnews – Prabowo Subianto melihat peluang emas dari budidaya pohon aren. Pasalnya, selain sektor pangan, Prabowo juga akan concern pada swasembada energi terbarukan, seperti pohon aren.

Dia mengatakan, pohon aren bisa menghasilkan kolang-kaling, gula aren, sagu, dan tuak. “Terpenting pohon aren bisa menghasilkan etanol,” kata calon presiden yang diusung partai Gerindra itu.

Prabowo mengatakan itu dalam diskusi Peran Pengusaha Nasional Menghadapi Krisis Global Dalam Merebut Pasar Lokal yang diselenggarakan Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) di Hotel Gran Melia Jakarta, Rabu 11 Maret 2009.

Etanol dikenal bisa mensubstitusi minyak tanah dan bahan bakar. Prabowo
memperkirakan satu hektar lahan pohon aren bisa menghasilkan 20 ton etanol per tahun. “Padahal kita punya 59 juta hektar lahan hutan yang rusak. Kalau bisa ditanami aren diselingi tanaman lain, bisa swasembada energi,” katanya.

Dengan adanya swasembada energi, Prabowo mengatakan, Indonesia tidak perlu lagi mengimpor 900 ribu barel bahan bakar tiap tahun. Karena, hanya dengan 4 juta hektar pohon aren dapat menghasilkan 80 juta ton etanol tiap tahun. Dengan asumsi satu ton bisa menghasilkan 6 barel, maka 480 juta barel dihasilkan dalam setahun.

Prabowo menjelaskan, dengan adanya swasembada energi, Indonesia tidak perlu lagi impor bahan bakar, bahkan bisa ekspor.

“Dengan asumsi 1 hektar bisa dikerjakan 6 orang, jika ada 4 juta hektar akan

mempekerjakan 24 juta orang,” katanya. • VIVAnews

Prabowo Akan Buka Empat Juta Hektare Aren

Jakarta (ANTARA News) – Calon presiden (Capres) dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto di Jakarta, Selasa, meluncurkan delapan program aksi untuk memakmuran rakyat, termasuk membuka dua juta hektare lahan sawah baru dan empat juta hektare lahan aren.

Delapan program aksi yang diluncurkan meliputi penjadwalan pembayaran utang luar negeri, menyelamatkan kekayaan negara untuk memberantas kemiskinan, melaksanakan ekonomi kerakyatan sesuai Pasal 33 UUD 1945, pemberdayaan pedesaan, memperkuat sektor usaha kecil dan memandirikan pengelolaan dan pemanfaatan energi dan sumber daya alam.

Pembukaan lahan sawah baru dan lahan untuk pohon aren itu merupakan bagian dari program ekonomi kerakyatan. Menurut Prabowo, apabila satu hektare lahan sawah baru menyerap enam tenaga kerja, maka 12 hektare lahan sawah akan menyerap 12 juta orang.

Begitu juga apabila untuk membuka satu hektare lahan aren membutuhkan enam tenaga kerja, maka untuk 4 hektare lahan aren akan mampu menyerap 24 juta tenaga kerja. Hal ini akan sangat penting untuk menyerap tenaga kerja serta memberdayakan petani.

Lahan sawah diarahkan untuk meningkatkan produksi beras nasional, sedangkan pohon aren akan sangat penting untuk kebutuhan ethanol yang bisa diolah menjadi bahan bakar.

Kebutuhan aren di dunia akan terus meningkat sering dengan meningkatnya diversifikasi bahan bakar. Pembukaan lahan aren sedang digencarkan Brazil, Kolombia dan Tanzania.

Di negara-negara tersebut, aren akan menjadi bahan baku utama bahan bakar.

Karena itu, jutaan hektare lahan aren sedang dibuka. “Bibitnya darimana? Dari Minahasa (Sulawesi Utara). Ironis kalau Indonesia mengabaikan perlunya mengembangkan pohon aren,” katanya.

Prabowo mengemukakan, selama 10 tahun terakhir, kemandirian bangsa cenderung menurun. Sektor pertanian yang semestinya menjadi andalan, justru dipinggirkan sehingga berbagai produk pertanian tidak bisa menghasilkan untuk kepentingan masyarakat maupun negara.

Indonesia hanya mampu mengandalkan ekspor produk mentah dan tidak mampu menghasilkan produk olahan. Indonesia sebenarnya produsen coklat dan karet terbesar di dunia. Tetapi pabrik coklat terbesar justru di Singapura dan Malaysia.

“Begitu juga kita kita punya pabrik pengolah karet sehingga harus mengimpor ban kendaraan,” kata Prabowo yang pada saat itu memperkenalkan tim ahlinya, termasuk mantan Dirut Pertamina Widya Purnama dan mantan staf ahli menteri pertanian Dr Rahmat Pambudi.

Prabowo mengemukakan, turunnya kemandirian bangsa selama 10 tahun terakhir menyebabkan tidak adanya akumulasi kekayaan nasional. Sebaliknya, justru terjadi aliran kekayaan ke luar negeri.

“Hal itu mengindikasikan bahwa sebenarnya tidak tercapai kesejahteraan,” katanya.

Terjadinya aliran kekayaan ke luar negeri juga akibat tidak adanya kewajiban bagi perusahaan-perusahaan asing yang mengelola sumber daya alam nasional untuk menyetorkan keuntungan kepada negara.

Padahal perusahaan-perusahaan itu menggunakan infrastruktur, listrik dan membayar tenaga kerja sesuai Upah Minimum Regional (UMR) yang murah.

“Kalau begini, siapapun yang memimpin tidak akan mampu menyejahterakan masyarakat,” katanya yang menambahkan, jika terpilih menjadi presiden maka perubahan sistem ekonomi dari kapitalis dan liberal akan dikembalikan sesuai Pasal 33 UUD 1945.

Dia menyatakan, tidak anti kapitalis apalagi dirinya dan juga kakaknya Hasim Djojohadikoesoemo juga pengusaha nasional. Tetapi mengembalikan sistem ekonomi sesuai konstitusi menjadi tanggungjawab dan tekad untuk segera diwujudkan. (*)

Sumber: http://www.antara.co.id/arc/2009/3/10/prabowo-akan-buka-empat-juta-hektare-aren/; 10/03/09 16:53


google918401c9860b4077.html