Kamis, 18 Juni 2009

Prospek Biofuel di Dalam Negeri

Pengusaha sawit mulai mendapat angin segar. Awal Oktober ini, Menteri ESDM mengeluarkan peraturan untuk mandatori penggunaan bahan bakar nabati pada transportasi, listrik dan industri. Ini memperjelas penggunaan minyak nabati. Menurut Ketua Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati, Al Hilal Hamdi, Peraturan Menteri ESDM ini mulai efektif Januari 2009.
Industri yang berbahan bakar nabati, terutama biodisel, saat ini sudah melewati 2 juta kiloliter pertahun. Setara dengan 40 ribu barel minyak perhari. Dalam waktu kira-kira 3-6 bulan kedepan kapasitas terpasang akan naik mencapai kurang lebih 2,5 juta kilo liter pertahun, atau ekuivalen 60 ribu barel minyak perhari. Sehingga kemerosotan harga di hulu akibat kelebihan pada produksi CPO tidak lama lagi akan bisa diserap pasar energi dalam negeri.
Menurut Hilal, tak perlu menunggu hingga Januari 2009. Pertamina mulai Oktober ini sudah meningkatkan pembelian biodiesel dan bioetanol, kira-kira 25 ribu-30 ribu kiloliter perbulan. Tentu saja perlu memantau harga BBM internasional sejalan dengan penurunan harganya. Turunnya harga CPO di pasaran internasional mencapai $ 500 perton. Tapi harga itu masih lebih tinggi dari harga solar diesel konvensional. Ini membuat penetasi biofuel masih agak berat bagi pasar dalam negeri. Namun, beberapa industri biodiesel yang terintegrasi; yang mempunyai kebun sendiri, kilang-kilang pengolahan turunan dari CPO yang menghasilkan stearin, mereka siap menjual pada harga diesel Pertamina atau PLN yang selama ini memperoleh dari import.

Saat ini daya serap industri biofuel terhadap CPO tidak terlalu besar. Karena fluktuasi harga minyak dan CPO terhadap minyak solar. Pasarnya dinamis. Hal ini yang mungkin perlu disepakati antara Pertamina, Industri biodiesel, dan PLN untuk tetap menggunakan harga bahan bakar yang konvensional. Kalau melebihi akan membebani APBN. Yang dapat dipakai sebagai acuannya adalah maksimum pembelian harga biodiesel sama dengan saat Pertamina membeli solar atau diesel di pasar internasional. Beberapa industri besar yang memiliki biodeisel terintegrasi akan kompetitif dengan harga pasar internasional. Nah industri itulah yang akan memasok pasar dalam negeri bersaing dengan harga solar. Masalahnya banyak industri biodiesel di Indonesia yang tidak mempunyai kebun sendiri, mengambil CPOnya dari lelang di pasar.

Jika Pertamina menaikan pembelian dari industri dalam negeri, yang harganya sudah disepakati mengikuti harga pasar Singapura, Oktober ini peluangnya sudah mulai naik.

Menilik dari Peraturan Menteri ESDM mengenai mandatori, kira-kira 5% yang dapat diserap pada tahun 2009. Kalau harga CPO lebih bagus untuk dipasarkan ekspor, tentu untuk dikonversi menjadi energi penggunaan dalam negeri harganya lebih mahal. Kalau lebih mahal, maka akan membebani pemerintah dalam pemberian subsidi. Kalau harga solar Rp 5.500, maka kalau harga biodiesel diatas 5500/ltr, pemerintah akan menambah subsidi di APBN. Karena itu mandatori tersebut tak hanya memberi ruang bagi efektivitas untuk menyerap lebih banyak tapi juga mesti bisa mengurangi pada level tertentu apabila harga bahan baku biodiesel itu memiliki peluang yang lebih baik.

Pentingnya Dukungan Untuk Energi Nabati

Kita pernah berangan angan, Tahun 2010 nanti, sebagian bahan bakar minyak akan dicampur etanol. Program bahan bakar nabati, gencar dikampanyeken Pemerintahan SBY. Kebijakan itu dipilih, untuk mengurangi ketergantungan pada minyak bumi yang kian tipis cadangannya. Sekarang kita sudah jadi negara pengimpor minyak.

Tetapi niat dan pelaksanaan memang seringkali jauh panggang dari api. Beberapa inisiatif untuk mendirikan pabrik etanol, saat ini mandeg di tengah jalan. Bahkan yang sudah selesai dibangun, seperti pabrik pengilangan etanol milik Medco di Lampung, sekarang tak berproduksi karena berbagai sebab.

Sebab eksternal yang di luar kendali, antara lain adalah merosotnya harga minyak dunia. Dengan minyak mentah berkisar 40 dollar per barrel, memang sulit untuk mengembangkan bioetanol. Ongkos produksinya lebih tinggi dari harga jual. Para pelaku industri terbarukan ini, memperkirakan biofuel akan ekonomis kalau harga minyak mentah sekitar 80 dollar per barrel. Dan, di masa depan angka itu bukannya tak bisa terjadi. Karena minyak bumi pada dasarnya sudah menipis.

Tetapi di luar faktor harga minyak, persiapan internal kita juga tidak komprehensif. Tidak sungguh sungguh dan konsisten. Kilang etanol Medco di Lampung misalnya, kekurangan pasok singkong yang jadi bahan bakunya. Tanpa pasok yang reguler dan dalam jumlah cukup, pabrik etanol tak akan sanggup membuat kontrak dengan pembelinya. Padahal, bisnis biofuel seperti etanol itu, senantiasa dilakukan dengan kontrak jangka panjang.

Untuk mencukupi kebutuhan singkongnya, pabrik di Lampung itu perlu dukungan kebun singkong seluas 20 ribu hektar. Tetapi, sampai sekarang tak ada kebun pemasok itu. Beda dengan Brazil yang pemerintahnya aktif mendorong pertanian bahan bakar nabati, pemerintah kita hanya berhenti pada wacana. Kita sesungguhnya membutuhkan pemerintahan yang tangkas mengelola peluang. Selama pembukaan kebun singkong itu tidak membabat hutan alam, tetapi memakai lahan terlantar yang banyak tersedia, kita tak perlu ragu untuk memulai.

Sejauh bahan baku etanol itu dipilih dari tanaman yang tidak berebut dengan pangan manusia, kita tak perlu ragu mengembangkan biofuel. Untuk singkong, misalnya, perlu dikembangkan singkong karet yang umbinya besar besar, tapi tak dapat dikonsumsi manusia. Jarak pagar yang beracun, tapi mudah tumbuh di tempat gersang, juga dapat menjadi pilihan sumber bahan bakar nabati.

Untuk mewujudkan itu, perlu dukungan nyata dari pemerintah

source :http://www.greenradio.fm/index.php?option=com_content&view=article&id=270:pentinganya-dukungan-untuk-energi-nabati&catid=91:bio-energy&Itemid=171

Listrik Microhidro di Desa Cinta Mekar

Warga Desa Cinta Mekar, Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang, JawaBarat, membangun dan mengelola pembangkit listrik microhidro sebesar 120 kilowatt. Mereka memanfaatkan aliran sungai di kampungnya. Lebih dari dua ratus warga menikmati suasana terang di malam hari.sekaligus mendapat manfaat lain dari jualan listrik ke PLN.

Daerah yang sempat tercatat sebagai daerah tertinggal itu kini terang benderang di malam hari selama lebih dari empat tahun.Yang membanggakan, mereka bergerak secara swadaya membangun pembangkit listrik itu. Dengan memanfaatkan aliran sungai Ciasem, mereka membangun pembangkit tenaga listrik air kecil atau microhidro.

Dengan perangkat sederhana, air sungai dibendung dan dialirkan ke turbin, lantas dikembalikan lagi ke sungai. Teknik ramah lingkungan itu mampu menghasilkan listrik 120 kilowatt.

Menurut Yan Sophian, operator pembangkit listrik, desa ini dulunya terbelakang, terutama dari sisi pendidikan dan ekonomi. Tapi berkat usaha dua perusahan piranti hidro PT IBEKA dan PT HIP, proyek pembangkit listrik tingkat desa ini akhirnya terwujud. Dengan bantuan dana dari badan PBB yang mengurusi Ekonomi dan Sosial untuk Asia Pasific (UNESCAP), pada 2003 proyek ini mulai dibangun. "Setelah rampung, dibangunlah koperasi guna menunjang operasional pembangkit itu," jelas Yan Sophian.

Yan Sophian menjelaskan, perlengkapan yang digunakan membangun pembangkit itu benar-benar produksi anak negeri. Alat sederhana itu mulai dari turbin penggerak dinamo, hingga travo yang berguna menaikkan daya agar sepadan dengan kebutuhan PLN. "Semuanya buatan Bandung," tutur Sophian.

Pasokan listrik dari proyek percontohan se Asia Pasific ini lantas dijual sepenuhnya ke PLN yang lantas mendistribusikan kembali kepada warga Desa Cinta Mekar.

Dari penjualan listrik ke PLN, koperasi bisa memperoleh dua hingga lima juta perbulan. Besar kecilnya penjualan listrik tergantung pada debit air sungai Ciasem. Pada musim kemarau, debit air mengecil yang berarti turun pula daya listri yang bisa dihasilkan pembangkit. Menurut Yuyun Yuningsih, pengurus Koperasi Mekar Sari, hasil penjualan listrik ke PLN ini dikembalikan lagi ke warga. Bentuknya bisa berupa bantuan pemasangan instalasi listrik, dana pendidikan, juga dana kesehatan. Untuk kesehatan, koperasi membantu Rp 100 ribu kepada warga yang melahirkan atau yang sedang sakit.

Microhidro Berpotensi Di Indonesia

Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral memperkirakan dari potensi air yang tersebar di Indonesia bisa dihasilkan energi listrik sebesar 75 gigawatt. Dari angka itu, 10 persen di antaranya bisa dibangun pembangkit listrik tenaga microhidro. Sayangnya potensi energi air yang sangat besar itu belum dimanfaatkan maksimal, baru sekitar 5 persen saja. Padahal, energi yang dihasilkan air dengan pembangkit tenaga microhidro bisa dijadikan sumber energi alternatif pada masa depan. Tak butuh bahan bakar apa pun selain air yang mengalir. Teknologi pembangkit jenis ini pun sudah dikuasai sepenuhnya oleh orang-orang Indonesia.

Bukan itu saja kelebihan pembangkit listrik tenaga air. Menurut Direktur Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi dari Departemen Energi Sumber Daya Mineral, Ratna Ariati, pembangkit listrik tenaga microhidro juga ramah lingkungan, karena sama sekali tidak menghasilkan pencemaran atau menyebabkan pemanasan global.

Ratna Ariati mengklaim, pembangkit listrik baik tenaga micro hidro maupun pikohidro di Indonesia sudah memproduksi listrik sekitar 200 megawatt atau lebih dari 200 unit pembangkit. Sebagian di antaranya dikelola masyarakat, dan listrik yang dihasilkan bisa dijual ke PLN. "PLN wajib membeli listrik dari microhidro," tegasnya.

source:http://www.greenradio.fm/index.php?option=com_content&view=article&id=294:listrik-microhidro-di-desa-cinta-mekar&catid=87:hydro-energy&Itemid=171

Bioethanol Lebih Ekonomis

Bioethanol bisa dijadikan pengganti bahan bakar minyak. Selain hemat, pembuatannya bisa dilakukan di rumah sendiri dengan mudah. Anda pun akan mendapatkan nilai ekonomis dibandingkan menggunakan minyak tanah. Bila sehari menggunakan minyak tanah seharga Rp 16 ribu, maka dengan bioethanol Anda bisa berhemat Rp 4 ribu. Lebih ekonomis, bukan?

Pengalaman membuat dan menggunakan bioethanol ini diceritakan oleh Bambang Kisudono, warga kota Surabaya yang memanfaatkan sampah dapurnya untuk membuat dan mengembangkan bioethanol di lingkungannya.

Awalnya Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Institut Teknologi Surabaya (ITS) dari kajiannya menyimpulkan bahwa bioethanol dengan kompor khusus terbukti lebih efisien ketimbang kompor kerosin. Temuan ini membuat Bambang berinisiatif melakukan pengolahan bioethanol sendiri.

Sudah sekitar enam bulan, Bambang memakai bioethanol sebagai bahan bakar untuk kepentingan dapur rumah tangganya. Ia bisa berhemat sekitar Rp 4 ribu dibandingkan saat memakai bahan minyak tanah, yang seharinya mengeluarkan Rp 16 ribu.

”Untuk warga pedesaan, nilai rupiah itu bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain,” ujarnya.

Perbandingan penggunaan bioethanol dan minyak tanah adalah 1:3. Artinya dengan 3 liter minyak tanah, Anda hanya membutuhkan satu liter bio-ethanol. Dengan volume 100 cc akan membuat api menyala sekitar 30-40 menit.

Bambang menceritakan proses pembuatan bioethanol yang dilakukannya. Menurutnya, bahan baku bioethanol itu terbagi tiga. Bahan berpati, bahan bergula dan bahan selulosa. Bahan baku bergula, misalnya adalah tebu, nila, dan aren. Sedangkan bahan berpati, misalnya ubi kayu, sagu, jagung, biji sogun, dan kentang manis. Bahan ini umumnya dimakan oleh manusia.

”Oleh ITS disarankan pengembangan bioethanol itu tidak menggunakan bahan yang dimakan manusia. Hal itu agar tidak mengganggu ketahanan pangan nasional,” ujarnya.

Untuk penggunaan bahan baku berpati, Bambang memilih singkong yang tidak dimakan manusia, yaitu singkong yang beracun. Lalu, ia pun memanfaatkan limbah sagu dan bonggol jagung. Intinya adalah, ia menghindari bahan baku yang secara langsung dimakan manusia, dan memakai limbah dari bahan makanan tersebut.

”Proses pembuatan bioethanol itu tidak lama. Paling yang agak lama adalah proses peragian yang bisa mencapai 2-3 hari,” kata Bambang.

Bambang pun mulai menjelaskan langkah-langkah yang biasa ia lakukan, dalam membuat bioethanol. Singkong racun dan kulit pisang itu dihancurkannya, dan dijadikan bubur. Setelah hancur, bubur itu dicampur ragi agar menghasilkan glukosa. Proses ini akan menghasilkan bahan baku bergula.

”Nah, bahan bergula yang disebutkan tadi sebenarnya akan mempersingkat proses pembuatan bioethanol. Karena kita melewati proses penghancuran dan peragian itu,” jelasnya.

Setelah mendapatkan glukosa, kemudian dilanjutkan dengan proses fermentasi. Caranya, kembali memberikan ragi ke dalamnya. Dari proses ini maka diperolehlah bioethanol dengan kadar alkohol rendah. ”Setelah proses ini selesai, kita bisa segera memanfaatkannya sebagai bahan bakar untuk memasak,” pungkasnya.

source :http://www.greenradio.fm/index.php?option=com_content&view=article&id=446:bioethanol-lebih-ekonomis&catid=91:bio-energy&Itemid=173

Rabu, 17 Juni 2009

Research reinforces economic, environmental benefits of corn cobs as source for cellulosic ethanol

ISU study, EPA analysis indicate vast potential for POET's cellulosic process
Sioux Falls, S.D.

Corn cobs are both economical and environmentally friendly as a feedstock for cellulosic ethanol, university and government reports indicate, reaffirming POET's strategy for commercializing its new technology.

Removing corn cobs from fields for use in cellulosic ethanol production appears to have no substantial impact on soil nutrient content, based on results from the first year of a multi-year study by Iowa State University (ISU).

POET’s process for producing cellulosic ethanol uses corn cobs as the feedstock. POET’s pilot-scale plant in Scotland, S.D. is already producing cellulosic ethanol at a rate of approximately 20,000 gallons per year, and plans are on schedule for 25 million gallons per year of commercial production in Emmetsburg, Iowa in 2011.

The ISU research was funded by POET as part of the company’s ongoing internal study into the sustainability of using corn cobs as a cellulosic feedstock.

Results from the first year of the study, conducted on a test field near the Emmetsburg site, indicate that fertilizer treatment for a field in which cobs have been removed would be almost identical to treatment of a field in which cobs were not removed. ISU researchers will continue their work this year on the test plots, compiling more data to help farmers manage their land well while taking advantage of an additional revenue source from their fields.

“This information reinforces previous research showing that corn cobs are a sustainable, environmentally friendly feedstock for producing cellulosic ethanol, and removing them from the field will not alter soil quality,” said Scott Weishaar, POET Vice President of Commercial Development. “We are committed to thoroughly evaluating our process to ensure the benefits of cellulosic ethanol are fully realized.”

Previous research by the U.S. Department of Agriculture showed that cobs contain only 2-3 percent of the measured nutrients of the above-ground corn plant. The collaboration between POET and ISU takes a closer look at data regarding soil quality and nutrient levels, the impact of cob and stover removal on future plant growth and recommended levels of fertilizer applications, if any, for cob or stover removal. In addition, POET is investigating the impact of cob piles on future plant growth on the pile site.

Additionally, the Draft Regulatory Impact Analysis released this month by the U.S. Environmental Protection Agency touts the economic benefit of using corn stover, which includes corn cobs, in making cellulosic ethanol.

“… corn stover was chosen as the most economical agricultural feedstock to be used to produce ethanol in order to meet the 16 [billion gallon] EISA (Energy Independence and Security Act) cellulosic biofuel requirement. We estimate that by 2022 greater than 400 million tons of corn stover could be produced. Approximately 82 million tons would be needed to produce 7.8 billion gallons of cellulosic biofuel that our modeling projects to come from corn stover by 2022.” (Draft Regulatory Impact Analysis: Changes to Renewable Fuel Standard Program, page 17 http://www.epa.gov/oms/renewablefuels/420d09001.pdf)

Jatropha - India's Bio-Fuel Option

News Report, Siddharth Srivastava, Posted: Jul 28, 2008

With inflation in India crossing the 11 percent mark for the first time in three and a half years, the impact of bio-fuel production on food grain prices is under scrutiny in the country.

Recently Indian Prime Minister Manmohan Singh dismissed any talk of bio-fuels from food grains, insisting that the country would not follow the example of Brazil to deploy sugar for bio-fuels.

India is the world’s second-largest sugar producer after Brazil and last year federal Agriculture Minister Sharad Pawar had said that production of ethanol will benefit farmer incomes immensely.

However, faced with unprecedented inflation food grain shortages, high crude oil prices and a general election scheduled in a year’s time, a clearly concerned Singh said bio-fuels from food grains will worsen the already dangerous inflation crisis.

Singh cited three adverse circumstances for India and other developing economies: the global food crisis, worsened by diversion of food crops to bio-fuel in developed countries; the cartelized rise in crude oil prices and the sub-prime banking crisis in the U.S.

India’s Finance Minister P. Chidambaram also recently criticized conversion of crops into bio-fuel as “the single biggest reason why we are facing this (food) crisis. To put it mildly, (converting food crops to bio-fuels) is foolish; to put it strongly, it is a crime against humanity.”

Though Chidambaram censured the U.S. for actively backing corn-based ethanol, he also singled out for criticism bio-fuel from palm oil, an Asia-centric industry based mostly in Malaysia and Indonesia.

His words were echoed by Jean Ziegler, UN special rapporteur on the right to food who recently said that the U.S. and the European Union have taken a “criminal path” by contributing to an explosive rise in global food prices through using food crops to produce bio-fuels.

Some experts have warned that, unless monitored, in the next three to four decades almost half of the winter- harvested oilseeds in India, a leading vegetable oil importer, could be used for bio-fuels.

Food and Fuel

This is, however, not the end of the road for India’s quest to develop alternate fuel, especially in the wake of runaway crude oil prices.

The Prime Minister’s Council on Climate Change is preparing a strategy for sustainable development known as the National Action Plan on CC. Though due in November last year, it should be finalized by the end of this month.

The focus of the plan is going to be on extending incentives to renewable sources while improving production efficiency standards which will not be legally binding. Solar energy is one area where the government has already begun to extend incentives with some good results being reported.

According to Vilasrao Muttemwar, India’s minister for non-conventional energy, “The government is concerned that food grain is not used for producing ethanol or any bio-fuel even if we are facing an energy crunch. We cannot afford any diversification from traditional cultivation.”

Muttemwar said that focus will instead be on growing bio-energy plants such as jatropha in waste lands. “India possesses around 35 million hectares waste land that can be used for cultivation of such plants.’’

Muttemwar spoke about the Philippines model, which could be successfully applied to India. The Philippines’ bio-fuels program, he said, promotes plants such as jatropha, which is not a food crop and does not substitute agricultural land. The Philippines National Bio-fuels Board only allots fallow land to plant bio-fuel crops.

New Delhi is in the process of formulating a national policy on bio-fuels and the setting up of a National Bio-fuel Development Board, which will likely follow the Philippines approach.

Jatropha incentives are a part of India’s goal to achieve energy independence by the year 2012. Jatropha oil is produced from the seeds of the Jatropha curcas, a plant that can grow in wastelands across India. Jatropha oil is considered to be an excellent source of bio-diesel.

The Government of India has identified 400,000 square kilometers (98 million acres) of land where jatropha can be grown, hoping it will replace 20 percent of India’s diesel consumption by 2011 This can provide much needed employment to the rural poor of India and also serve as a means to energy independence to India.

Indian Railways has started to use oil (blended with diesel fuel in various ratios) from the jatropha plant to power its diesel engines with significant success. Currently the diesel locomotives that run from Thanjavur to Nagore section and Tiruchirapalli to Lalgudi, Dindigul and Karur sections run on a blend of Jatropha and diesel oil.

Andhra Pradesh has entered into a formal agreement with Reliance Industries for Jatropha planting. The company has selected 200 acres of land at Kakinada to grow jatropha for high quality bio-diesel fuel. Kerala is planning a massive Jatropha planting campaign.

Unlike the U.S., India need not use crops like maize to produce bio-fuel, leading to global food scarcity and price rise, a senior government official recently said.

Federal Commerce Minister Kamal Nath has recently reiterated that it is time to end the subsidy for converting food into fuel and called for exploring new and more environment-friendly sources. “The solution lies in promoting food and fuel and not food or fuel,” he said.

Politics of Bio-fuel

Given that millions in India continue to live at or below subsistence level, no federal or state government can risk a rise in food prices. The political backlash can be severe.

Food security is at the top of the political agenda in Asia as governments have struggled to buffer the effects of inflation and soaring grain prices.

“High food inflation is politically explosive. This year, we’ve already seen many incumbent governments in Asia losing elections,” Deutsche Bank Private Wealth Management recently advised. “The fact that Indonesia and India will have elections next year means governments there are very concerned about the impact on people’s wallets.”

Food prices were a significant issue that was played up in the recent elections in the south Indian province Karnataka. Elections are due in other crucial states like Madhya Pradesh, Chhattisgarh and Rajasthan this year, to be followed by national elections in a year.

The Food and Agricultural Organization has estimated that out of the 854 million undernourished population in the world in 2001-03, 830 million resided in developing countries including India.

Some observers, however, say that the issue of bio-fuels affecting food prices may have been exaggerated in India. The bigger culprit, they say, is food wastage due to absence of adequate supply chains, storage facilities and lack of refrigeration.

Be that as it may, the issue of bio-fuel will need to be tread carefully given the increasingly politicization of the issue, ensuring a fine balance between energy saving and food availability.

Siddharth Srivastava is India correspondent for Siliconeer. He lives in New Delhi.

PENGEMBANGAN TANAMAN JARAK (Jatropha curcas L) SEBAGAI SUMBER BAHAN BAKAR ALTERNATIF.

Oleh : Irwanto 2006

Di Indonesia terdapat berbagai jenis tanaman jarak antara lain jarak kepyar (Ricinus communis), jarak bali (Jatropha podagrica ), jarak ulung (Jatropha gossypifolia L.) dan jarak pagar (Jatropha curcas). Diantara jenis tanaman jarak tersebut yang memiliki potensi sebagai sumber bahan bakar alternatif adalah jarak pagar (Jatropha curcas) dalam bahasa inggris disebut ”Physic Nut”.
Jarak Pagar (Jatropha curcas) seringkali salah diidentifikasi dengan tanaman jarak kepyar (Ricinus communis) dalam bahasa Inggris disebut ”Castor Bean”. Tanaman jarak Jatropha curcas (Physic Nut) dan Ricinus communis (Castor Bean) ini juga sama-sama banyak ditemukan di daerah tropis seperti Indonesia, bahkan dari kedua jenis tanaman ini dapat diperoleh ekstrak minyak dari bijinya. Hanya saja tanaman jarak Ricinus communis seringkali terkait dengan produksi ”ricin” yaitu racun yang berbahaya dan banyak digunakan untuk penelitian terapi penyakit kanker, sedangkan tanaman jarak Jatropha curcas menghasilkan racun ”krusin” tetapi lebih banyak terkait dengan informasi ”biodiesel” atau ”biofuel”. Kedua tanaman ini berbeda baik dalam bentuk morfologi tanaman maupun minyak yang dihasilkannya.
Jarak pagar (Jatropha curcas) telah lama dikenal masyarakat berbagai daerah di Indonesia, yaitu sejak diperkenalkan oleh bangsa Jepang pada tahun 1942-an, saat itu masyarakat diperintahkan untuk melakukan penanaman jarak sebagai pagar pekarangan. Beberapa nama daerah tanaman jarak pagar antara lain; jarak kosta, jarak budeg (Sunda); jarak gundul, jarak pager (Jawa); kalekhe paghar (Madura); jarak pager (Bali); lulu mau, paku kase, jarak pageh (Nusatenggara); kuman nema (Alor); jarak kosta, jarak wolanda, bindalo, bintalo, tondo utomene (Sulawesi); ai huwa kamala, balacai, kadoto (Maluku).

Budidaya Jarak (Jatropha curcas L).

Tanaman jarak mudah beradaptasi terhadap lingkungan tumbuhnya, dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur, tetapi memiliki drainase baik, tidak tergenang, dan pH tanah 5.0 – 6.5
Kegiatan persiapan lahan meliputi pembukaan lahan (land clearing), pengajiran dan pembuatan lubang tanam. Lahan yang akan ditanami dibersihkan dari semak belukar terutama disekitar calon tempat tanam. Pengajiran dilakukan dengan menancapkan ajir (dari bambu atau batang kayu) dengan jarak tanam disesuaikan dengan jumlah tanaman yang direncanakan. Penanaman dengan jarak tanam 2 x 3 m (1660 pohon/ha), 2 x 2 m (2500 pohon/ha) atau 1.5 x 2 m (3330 pohon/ha). Pada areal yang miring sebaiknya digunakan sistem kontur dengan jarak dalam barisan 1.5 m. Lubang tanam dibuat dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 40 cm.
Bahan tanaman dapat berasal dari stek cabang atau batang, maupun benih. Jika menggunakan stek dipilih cabang atau batang yang telah cukup berkayu. Sedangkan untuk benih dipilih dari biji yang telah cukup tua yaitu diambil dari buah yang telah masak biasanya berwarna hitam.
Pembibitan dapat dilakukan di polibag atau di bedengan. Setiap polibag diisi media tanam berupa tanah lapisan atas (top soil) dan dapat dicampur pupuk kandang. Setiap polibag ditanami 1 (satu) benih. Tempat pembibitan diberi naungan / atap dengan bahan dapat berupa daun kelapa, jerami atau paranet. Lama di pembibitan 2 – 3 bulan. Kegiatan yang dilakukan selama pembibitan antara lain penyiraman (setiap hari 2 kali pagi dan sore), penyiangan, dan seleksi.
Penanaman dilakukan pada awal atau selama musim penghujan sehingga kebutuhan air bagi tanaman cukup tersedia. Bibit yang ditanam dipilih yang sehat dan cukup kuat serta tinggi bibit sekitar 50 cm atau lebih. Penanaman dapat juga dilakukan secara langsung di lapangan (tanpa pembibitan) dengan menggunakan stek cabang atau batang.
Pemupukan dapat dilakukan sesuai tingkat kesuburan tanah setempat. Pemberian pupuk organik disarankan untuk memperbaiki struktur tanah.
Pemangkasan dilakukan bertujuan untuk meningkatkan jumlah cabang produktif. Pemangkasan batang dapat mulai dilakukan pada ketinggian sekitar 20 cm dari permukaan tanah untuk meningkatkan jumlah cabang. Pemangkasan dilakukan pada bagian batang yang telah cukup berkayu (warna coklat keabu-abuan).
Mulai berbunga setelah umur 3 – 4 bulan, sedangkan pembentukan buah mulai pada umur 4 – 5 bulan. Pemanenan dilakukan jika buah telah masak, dicirikan kulit buah berwarna kuning dan kemudian mulai mengering. Biasanya buah masak setelah berumur 5 – 6 bulan. Tanaman jarak pagar merupakan tanaman tahunan jika dipelihara dengan baik dapat hidup lebih dari 20 tahun.
Cara pemanenan dengan memetik buah yang telah masak dengan tangan atau gunting. Produktivitas tanaman jarak berkisar antara 3.5 – 4.5 kg biji / pohon / tahun. Produksi akan stabil setelah tanaman berumur lebih dari 1 tahun. Dengan tingkat populasi tanaman antara 2500 – 3300 pohon / ha. Jika rendemen minyak sebesar 35 % maka setiap ha lahan dapat diperoleh 2.5 – 5 ton minyak / ha / tahun.
Pemanfaatan minyak Jarak (Jatropha curcas L) sebagai bahan balar alternatif ideal untuk mengurangi tekanan permintaan bahan bakar minyak dan penghematan penggunaan cadangan devisa.

Pengembangan Minyak Jarak Sebagai Bahan Bakar Alternatif

Pertengahan tahun 2004, DaimlerChrysler, salah satu perusahaan otomotif terkemuka, berhasil mengujicobakan penggunaan bahan bakar BTL (Biomass to Liquid) pertama di dunia pada mobil Mercedes-Benz seri C (Mercedes-Benz C 220, red.), menempuh jarak 5.900 km dalan kondisi lingkungan yang ekstrim di India (India Daily, 19/7/2004). Bahan bakar tersebut kemudian diberi nama dagang SunDiesel, diperoleh dari minyak jarak dan merupakan salah satu program DaimlerChrysler dalam mengembangkan Biodiesel.
Pengembangan minyak dari tanaman jarak melalui pendekatan ilmiah di Indonesia, dipelopori oleh Dr. Robert Manurung dari Institut Teknologi Bandung (ITB) sejak tahun 1997 dengan fokus ektraksi minyak dari tanaman jarak. Sejak tahun 2004 yang lalu, penelitian ini mendapat dukungan dari Mitsubishi Research Institute (Miri) dan New Energy and Industrial Technology Development Organization (NEDO) dari Jepang (Kompas, 12/5/2005).
Menghadapi krisis BBM dan kenaikan harga BBM di Indonesia, Pemerintah mulai menggali sumber-sumber energi alternatif. Minyak jarak ini pun mulai mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah.
Ada satu optimisme peluang pasar minyak jarak ini cukup terbuka dengan munculnya pernyataan Direktur Utama Pertamina yang menyebutkan bahwa Pertamina siap menampung minyak jarak dari masyarakat untuk diproses lebih lanjut sebagai Biodiesel (www.pertamina.com,18/8/2005). Bahkan Jepang yang terikat komitmen Protokol Kyoto bersiap-siap membeli produk energi alternatif dari minyak jarak ini (Republika, 18/5/2005).

Daftar Pustaka:
Anonimous, 2005. Pemuliaan Mutasi Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Kementerian Negara Riset dan Teknologi - Gedung II BPP Teknologi Lt. 6, Jl. MH Thamrin 8, Jakarta 10340.
Firdaus, I. U. 2005. Analisa Investasi Jarak (Kaliki). PT. Nawapanca Adhi Cipta. Email : firdaus@nawapanca.com
Sopian, T. 2005. Biodiesel dari Tanaman Jarak http://www.beritaiptek.com. Email:tsopian@yahoo.com
download gambar : http://www.tropilab.com/biodiesel1.html

Biomass Feedstocks

Biomass includes all plants and plant-derived material, and is a sustainable feedstock for the production of transportation fuels, products, and power.








The success of the U.S. bioindustry depends, to a large degree, on the quantity and quality of biomass available, and on the industry's ability to cost-effectively utilize biomass for energy production. Therefore, the Biomass Program's Feedstock R&D Platform impacts all facets of the Biomass Program portfolio. The Feedstock Platform is specifically linked to Processing and Conversion Platforms, as feedstock is the substrate that serves as a beginning point for all conversion technologies.

Ensuring a sustainable, high-quality, available, and functional supply of biomass feedstock requires R&D on all elements of the biomass feedstock supply chain, from plant breeding and genomics to crop production and harvesting techniques. The Biomass Program relies heavily on its Program partners, including the DOE Office of Science, the U.S. Department of Agriculture (USDA), the National Laboratories, and many academic and industrial institutions that each play a role in advancing feedstock technologies from basic plant sciences to harvesting.

The Biomass Program's Feedstock Platform focuses on two areas of the feedstock supply chain: Sustainable Feedstock Production and Feedstock Logistics.

Sustainable feedstock production includes all the steps required to produce biomass feedstocks to the point they are ready to be collected or harvested from the field or forest. OBP's feedstock production R&D is focused on identifying feedstock resources, selecting the best feedstocks for energy production and solving specific feedstock production issues on a regional basis.

Feedstock logistics encompasses all the unit operations necessary to move biomass feedstocks from the field or forest to the biorefinery, while ensuring the delivered feedstock meets biorefinery specifications. OBP's feedstock logistics R&D is focused on developing and optimizing cost-effective, integrated systems for collecting, storing, preprocessing and transporting a range of cellulosic feedstocks, including agricultural residues, forest resources and dedicated energy crops.

These efforts will lead to completion of the Feedstock Platform's strategic goal: to develop sustainable technologies that can provide a secure, reliable, affordable and sustainable cellulosic biomass feedstock supply for the U.S. bioindustry in partnership with USDA and other key stakeholders. The ultimate outcome, or result, of the Feedstock Platform is that technologies and methods will exist to produce and supply over one billion tons per year of biomass feedstocks in a sustainable and cost-effective manner in the U.S.

source: http://www1.eere.energy.gov/biomass/biomass_feedstocks.html

Ethanol Plant Incidents

Ethanol Plant Incidents

How Ethanol Is Made

The production of ethanol or ethyl alcohol from starch or sugar-based feedstocks is among man's earliest ventures into value-added processing. While the basic steps remain the same, the process has been considerably refined in recent years, leading to a very efficient process. There are two production processes: wet milling and dry milling. The main difference between the two is in the initial treatment of the grain.

Importantly, companies today are involved in technological innovations such as cold starch fermentation, corn fractionation and corn oil extraction. Companies are also utilizing biomass gasification and methane digesters to reduce natural gas consumption. Additional work is being done to reduce energy consumption and production costs, increase efficiency and reduce emissions using the best available control technologies.

Take a video tour (Windows Media Player required) of an Ethanol Plant and learn about the production process from start to finish! (Courtesy of Midwest Grain Processors.)

The Ethanol Production Process - Dry Milling

In dry milling, the entire corn kernel or other starchy grain is first ground into flour, which is referred to in the industry as "meal" and processed without separating out the various component parts of the grain. The meal is slurried with water to form a "mash." Enzymes are added to the mash to convert the starch to dextrose, a simple sugar. Ammonia is added for pH control and as a nutrient to the yeast.

The mash is processed in a high-temperature cooker to reduce bacteria levels ahead of fermentation. The mash is cooled and transferred to fermenters where yeast is added and the conversion of sugar to ethanol and carbon dioxide (CO2) begins.

The fermentation process generally takes about 40 to 50 hours. During this part of the process, the mash is agitated and kept cool to facilitate the activity of the yeast. After fermentation, the resulting "beer" is transferred to distillation columns where the ethanol is separated from the remaining "stillage." The ethanol is concentrated to 190 proof using conventional distillation and then is dehydrated to approximately 200 proof in a molecular sieve system.

The anhydrous ethanol is then blended with about 5% denaturant (such as natural gasoline) to render it undrinkable and thus not subject to beverage alcohol tax. It is then ready for shipment to gasoline terminals or retailers.

The stillage is sent through a centrifuge that separates the coarse grain from the solubles. The solubles are then concentrated to about 30% solids by evaporation, resulting in Condensed Distillers Solubles (CDS) or "syrup." The coarse grain and the syrup are then dried together to produce dried distillers grains with solubles (DDGS), a high quality, nutritious livestock feed. The CO2 released during fermentation is captured and sold for use in carbonating soft drinks and beverages and the manufacture of dry ice.

The Ethanol Production Process - Wet Milling

In wet milling, the grain is soaked or "steeped" in water and dilute sulfurous acid for 24 to 48 hours. This steeping facilitates the separation of the grain into its many component parts.

After steeping, the corn slurry is processed through a series of grinders to separate the corn germ. The corn oil from the germ is either extracted on-site or sold to crushers who extract the corn oil. The remaining fiber, gluten and starch components are further segregated using centrifugal, screen and hydroclonic separators.

The steeping liquor is concentrated in an evaporator. This concentrated product, heavy steep water, is co-dried with the fiber component and is then sold as corn gluten feed to the livestock industry. Heavy steep water is also sold by itself as a feed ingredient and is used as a component in Ice Ban, an environmentally friendly alternative to salt for removing ice from roads.

The gluten component (protein) is filtered and dried to produce the corn gluten meal co-product. This product is highly sought after as a feed ingredient in poultry broiler operations.

The starch and any remaining water from the mash can then be processed in one of three ways: fermented into ethanol, dried and sold as dried or modified corn starch, or processed into corn syrup. The fermentation process for ethanol is very similar to the dry mill process described above.

The Production of Ethanol from Cellulosic Biomass

This process flow diagram shows the basic steps in production of ethanol from cellulosic biomass. Note that there are a variety of options for pretreatment and other steps in the process and that several technologies combine two or all three of the hydrolysis and fermentation steps within the shaded box. Chart courtesy of the National Renewable Energy Lab.

Source: http://www.ethanolrfa.org/resource/made/
google918401c9860b4077.html