Singapura — Investasi di bidang energy terbarukan untuk masa depan akan menghemat waktu 10 kali dari biaya penggunaan bahan bakar konvensional (fosil). Hal tersebut akan menghemat US$180 milyar setiap tahun dan mengurangi emisi CO2 50% pada tahun 2030 menurut laporan bersama Greenpeace dan The European Renewable Energy Council (EREC) yang di terbitkan satu hari sebelum pertemuan menteri-menteri energi negara ASEAN
Sepuluh menteri energi yang tergabung dalam negara-negara ASEAN sedang mendiskusikan pengembangan energi masa depan di wilayah ASEAN, dengan solusi yang salah, memerlukan biaya mahal, dan sangat berbahaya yang menjadi ancaman bagi pemanasan global dan energi seperti dengan penggunaan pembangkit batubara dan tenaga nuklir.
Laporan Greenpeace dan EREC tersebut menunjukkan bagaimana perekonomian di ASEAN akan diuntungkan dari investasi energi bersih. Greenpeace menyerukan kepada pemerintah di negara-negara ASEAN untuk belajar menjadi pemimpin dan menggunakan energi terbarukan serta mentargetkan energi yang efisien dalam rangka penurunan skala emisi untuk menghindari bahaya pemanasan global.
Dari analisis Global pertama yaitu, ”Investasi masa depan - Rencana energi yang berkelanjutan untuk sektor energi yang melindungi iklim,” (1) menunjukan kekuatan argumentasi ekonomi untuk perubahan dari investasi global terhadap energi terbarukan ( tenaga Matahari, angin, air, panas bumi dan bioenergi), dalam waktu 23 tahun yang akan datang dan terjauhkan dari bahaya batubara dan nuklir. Laporan tersebut memberi rasionalisasi keuangan untuk “Energi [R]evolusi” Greenpeace,” (2) Sebuah konsep untuk mengurangi bahaya emisi global CO2 sebesar 50 % di tahun 2050 sambil mempertahankan pertumbuhan ekonomi global.
“laporan kami menunjukkan bahwa dengan memanfaatkan efisiensi energi secara maksimal, akan membuat perekonomian mengarah ke energi terbarukan. Jika kita melihat energi fosil, saat energi terbarukan merupakan pilihan jangka panjang yang lebih baik. Kita secara pasti akan menghemat triliun dollar; sebesar US$180 milliar pertahunnya, untuk seterusnya dan pada kesempatan yg sama menghindari bencana besar dari dampak perubahan iklim.” ungkap Athena Ballesteros, Juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Internasional.
“Asia tenggara adalah wilayah yang memegang peringkat ke tiga penyumbang emisi CO2 di Negara-negara berkembang, setelah Cina dan India. Dan Negara-negara seperti Indonesia bahkan tidak pernah memulai untuk memaksimalkan eksplorasi terhadap potensi energi terbarukan, apapun itu termasuk panas bumi atau tenaga angin, sinar matahari dan biomassa. Sangat masuk rasional bagi Negara kepulauan untuk mengembangkan system energi yang berskala kecil dengan energi terbarukan yang terdesentralisasi daripada melakukan kebohongan dalam promosi dengan menerapkan solusi yang membahayakan seperti nuklir atau teknologi batubara bersih.” Ujar Nur hidayati, Juru kampanye iklim dan energi,Greenpeace Asia Tenggara
Dengan beralih ke energi terbarukan, Asia Tenggara harus bersikap untuk menghemat sebesar US $2 triliun dari biaya energi fosil di 23 tahun yg akan datang dan mengurangi emisi CO2 sebanyak 22% dari tahun 2003. Meningkatkan efisiensi energi dan pengalihan suplai energi kearah energi yang terbarukan sebagai pilihan untuk mensuplai listrik dalam jangka panjang akan mengurangi biaya menjadi sepertiga proyeksi biaya normal.
Dalam Energy [R]evolution sekenario, kemampuan energi batubara akan turun dari 145,600 MW ke 137,900 MW. Batubara, faktanya, akan, mengalami penurunan dari 36,000 MW ke 22,000 MW di tahun 2030. 70% dari pembangkitan menurut skenario [R]evolusi energi akan berbasis pada energi terbarukan. Dan meninggalkan seluruh energi fosil. Kapasitas dari energi nuklir akan berhenti beroperasi pada tahun 2030 ketika pembangkit tenaga listrik yang lama di gantikan pembangkit tenaga listrik yang terbarukan
Analisis dari sisi keuangan ini menunjukkan bahwa merupakan pilihan yang ekonomis untuk mengurangi ketergantungan kita terhadap energi fosil terutama batubara dan beralih pada energi terbarukan yang memiliki kestabilan harga paling tidak untuk 15 tahun. Mengacu pada kuatnya target dari energi terbarukan dan energi efisiensi di sektor energi juga memakan biaya tapi kita butuh itu terjadi sekarang
“Yang paling di butuhkan saat ini adalah untuk menentukan tindakan sekarang. ASEAN harus memiliki hokum iklim dan kebijakan energi. Keputusan di buat pada tahun yang akan datang, akan berlanjut pada tahun 2050. Hanya dengan mengambil energi terbarukan sebagai keputusan, Kita bisa menghindari terjadinya perubahan iklim yang terburuk” tegas Ballesteros.
Laporan yang terkait
Greenpeace Briefing Paper: Climate Change, Energy Security and a Sustainable Energy Future for ASEAN
source:http://www.greenpeace.org/seasia/id/press/press-releases/energi-masa-depan-yang-berkela
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar