Kamis, 18 Juni 2009

Bioethanol Lebih Ekonomis

Bioethanol bisa dijadikan pengganti bahan bakar minyak. Selain hemat, pembuatannya bisa dilakukan di rumah sendiri dengan mudah. Anda pun akan mendapatkan nilai ekonomis dibandingkan menggunakan minyak tanah. Bila sehari menggunakan minyak tanah seharga Rp 16 ribu, maka dengan bioethanol Anda bisa berhemat Rp 4 ribu. Lebih ekonomis, bukan?

Pengalaman membuat dan menggunakan bioethanol ini diceritakan oleh Bambang Kisudono, warga kota Surabaya yang memanfaatkan sampah dapurnya untuk membuat dan mengembangkan bioethanol di lingkungannya.

Awalnya Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Institut Teknologi Surabaya (ITS) dari kajiannya menyimpulkan bahwa bioethanol dengan kompor khusus terbukti lebih efisien ketimbang kompor kerosin. Temuan ini membuat Bambang berinisiatif melakukan pengolahan bioethanol sendiri.

Sudah sekitar enam bulan, Bambang memakai bioethanol sebagai bahan bakar untuk kepentingan dapur rumah tangganya. Ia bisa berhemat sekitar Rp 4 ribu dibandingkan saat memakai bahan minyak tanah, yang seharinya mengeluarkan Rp 16 ribu.

”Untuk warga pedesaan, nilai rupiah itu bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain,” ujarnya.

Perbandingan penggunaan bioethanol dan minyak tanah adalah 1:3. Artinya dengan 3 liter minyak tanah, Anda hanya membutuhkan satu liter bio-ethanol. Dengan volume 100 cc akan membuat api menyala sekitar 30-40 menit.

Bambang menceritakan proses pembuatan bioethanol yang dilakukannya. Menurutnya, bahan baku bioethanol itu terbagi tiga. Bahan berpati, bahan bergula dan bahan selulosa. Bahan baku bergula, misalnya adalah tebu, nila, dan aren. Sedangkan bahan berpati, misalnya ubi kayu, sagu, jagung, biji sogun, dan kentang manis. Bahan ini umumnya dimakan oleh manusia.

”Oleh ITS disarankan pengembangan bioethanol itu tidak menggunakan bahan yang dimakan manusia. Hal itu agar tidak mengganggu ketahanan pangan nasional,” ujarnya.

Untuk penggunaan bahan baku berpati, Bambang memilih singkong yang tidak dimakan manusia, yaitu singkong yang beracun. Lalu, ia pun memanfaatkan limbah sagu dan bonggol jagung. Intinya adalah, ia menghindari bahan baku yang secara langsung dimakan manusia, dan memakai limbah dari bahan makanan tersebut.

”Proses pembuatan bioethanol itu tidak lama. Paling yang agak lama adalah proses peragian yang bisa mencapai 2-3 hari,” kata Bambang.

Bambang pun mulai menjelaskan langkah-langkah yang biasa ia lakukan, dalam membuat bioethanol. Singkong racun dan kulit pisang itu dihancurkannya, dan dijadikan bubur. Setelah hancur, bubur itu dicampur ragi agar menghasilkan glukosa. Proses ini akan menghasilkan bahan baku bergula.

”Nah, bahan bergula yang disebutkan tadi sebenarnya akan mempersingkat proses pembuatan bioethanol. Karena kita melewati proses penghancuran dan peragian itu,” jelasnya.

Setelah mendapatkan glukosa, kemudian dilanjutkan dengan proses fermentasi. Caranya, kembali memberikan ragi ke dalamnya. Dari proses ini maka diperolehlah bioethanol dengan kadar alkohol rendah. ”Setelah proses ini selesai, kita bisa segera memanfaatkannya sebagai bahan bakar untuk memasak,” pungkasnya.

source :http://www.greenradio.fm/index.php?option=com_content&view=article&id=446:bioethanol-lebih-ekonomis&catid=91:bio-energy&Itemid=173

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

google918401c9860b4077.html