Kamis, 18 Juni 2009

Prospek Biofuel di Dalam Negeri

Pengusaha sawit mulai mendapat angin segar. Awal Oktober ini, Menteri ESDM mengeluarkan peraturan untuk mandatori penggunaan bahan bakar nabati pada transportasi, listrik dan industri. Ini memperjelas penggunaan minyak nabati. Menurut Ketua Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati, Al Hilal Hamdi, Peraturan Menteri ESDM ini mulai efektif Januari 2009.
Industri yang berbahan bakar nabati, terutama biodisel, saat ini sudah melewati 2 juta kiloliter pertahun. Setara dengan 40 ribu barel minyak perhari. Dalam waktu kira-kira 3-6 bulan kedepan kapasitas terpasang akan naik mencapai kurang lebih 2,5 juta kilo liter pertahun, atau ekuivalen 60 ribu barel minyak perhari. Sehingga kemerosotan harga di hulu akibat kelebihan pada produksi CPO tidak lama lagi akan bisa diserap pasar energi dalam negeri.
Menurut Hilal, tak perlu menunggu hingga Januari 2009. Pertamina mulai Oktober ini sudah meningkatkan pembelian biodiesel dan bioetanol, kira-kira 25 ribu-30 ribu kiloliter perbulan. Tentu saja perlu memantau harga BBM internasional sejalan dengan penurunan harganya. Turunnya harga CPO di pasaran internasional mencapai $ 500 perton. Tapi harga itu masih lebih tinggi dari harga solar diesel konvensional. Ini membuat penetasi biofuel masih agak berat bagi pasar dalam negeri. Namun, beberapa industri biodiesel yang terintegrasi; yang mempunyai kebun sendiri, kilang-kilang pengolahan turunan dari CPO yang menghasilkan stearin, mereka siap menjual pada harga diesel Pertamina atau PLN yang selama ini memperoleh dari import.

Saat ini daya serap industri biofuel terhadap CPO tidak terlalu besar. Karena fluktuasi harga minyak dan CPO terhadap minyak solar. Pasarnya dinamis. Hal ini yang mungkin perlu disepakati antara Pertamina, Industri biodiesel, dan PLN untuk tetap menggunakan harga bahan bakar yang konvensional. Kalau melebihi akan membebani APBN. Yang dapat dipakai sebagai acuannya adalah maksimum pembelian harga biodiesel sama dengan saat Pertamina membeli solar atau diesel di pasar internasional. Beberapa industri besar yang memiliki biodeisel terintegrasi akan kompetitif dengan harga pasar internasional. Nah industri itulah yang akan memasok pasar dalam negeri bersaing dengan harga solar. Masalahnya banyak industri biodiesel di Indonesia yang tidak mempunyai kebun sendiri, mengambil CPOnya dari lelang di pasar.

Jika Pertamina menaikan pembelian dari industri dalam negeri, yang harganya sudah disepakati mengikuti harga pasar Singapura, Oktober ini peluangnya sudah mulai naik.

Menilik dari Peraturan Menteri ESDM mengenai mandatori, kira-kira 5% yang dapat diserap pada tahun 2009. Kalau harga CPO lebih bagus untuk dipasarkan ekspor, tentu untuk dikonversi menjadi energi penggunaan dalam negeri harganya lebih mahal. Kalau lebih mahal, maka akan membebani pemerintah dalam pemberian subsidi. Kalau harga solar Rp 5.500, maka kalau harga biodiesel diatas 5500/ltr, pemerintah akan menambah subsidi di APBN. Karena itu mandatori tersebut tak hanya memberi ruang bagi efektivitas untuk menyerap lebih banyak tapi juga mesti bisa mengurangi pada level tertentu apabila harga bahan baku biodiesel itu memiliki peluang yang lebih baik.

1 komentar:

  1. Hi, it's a very great blog.
    I could tell how much efforts you've taken on it.
    Keep doing!

    BalasHapus

google918401c9860b4077.html