Kamis, 18 Juni 2009

Biofools

Pertanian biofuel memproduksi nitrogen oksida. Ini buruk bagi perubahan iklim.

Banyak orang mempertimbangkan penggunaan biofuel sebagai cara mengurangi kelebihan karbon dioksida (CO2) yang disemburkan ke udara oleh alat-alat transportasi di dunia. Teori ini menyebutkan bahwa tanaman seperti tebu, jagung, tepung mengurangi CO2 selama pertumbuhan mereka, jadi membakar bahan bakar dari tanaman ini semestinya tidak ada efek pada jumlah gas ini di atmosfir. Setidaknya, biofuel tidak menyumbang pada pemanasan global.

Teori tidak selalu diterjemahkan ke dalam praktiknya, dan sebagaimana pemerintah berkomitmen pada penggunaan biofuel yang lebih besar, pertanyaan sesungguhnya seberapa green kah bahan bakar ini? Sebuah laporan yang dikeluarkan sejumlah ilmuwan yang tergabung dalam tim yang bekerja atas nama International Council for Science (ICSU), federasi asosiasi ilmuwan seluruh dunia yang berbasis di Perancis.

ICSU melaporkan kesimpulannya bahwa, sejauh ini, produksi biofuel lebih memperburuk keadaan pemanasan global daripada membuat lebih baik. Secara particular, ini mendukung temuan kontroversial dari Paul Crutzen (2007) dari Max Planck Institute for Chemistry di Mainz, Jerman. Dr Crutzen menyimpulkan bahwa kebanyakan analisis telah memandang sebelah mata pada peran penting gas Nitrogen Oksida (N2O) pada pemanasan global. Jumlah gas ini yang dilepaskan dari lahan pertanian biofuel seperti jagung dan anggur kemungkinan menegasi keuntungan yang diperoleh dari berkurangnya emisi CO2.

Meskipun N2O tidak jamak di atmosfir bumi, ini lebih berpotensi sebagai gas rumah kaca dibandingkan CO2 dan bergentayagan lebih lama di udara. Akibatnya, di abad berikutnya, gas ini bakal berdampak memanaskan planet ini 300 kali lebih kuat dibandingkan CO2 pada jumlah yang sama. Robert Howarth, professor ekologi di Cornell University yang terlibat dalam penulisan laporan ICSU, mengatakan bahwa meskipun metode yang digunakan oleh Dr Crutzen bisa dikritisi, namun kesimpulan dasarnya memang benar.

N20 dibuat oleh bakteri yang hidup di tanah dan air dan, pada saat ini, material ini adalah pupuk kaya nitrogen yang digunakan pada pertanian modern. Sejak 1960an jumlah pupuk yang digunakan petani melipatgandakan kadar nitrogen ini, dan tidak semua kelebihan nitrogen ini berakhir di tanaman. Jagung misalnya, digambarkan oleh para ahli sebagai tanaman “pembocor nitrogen” karena akarnya yang dangkal dan hanya mengambil nitrogen untuk beberapa bulan dalam setahun. Ini membuat jagung (yang adalah salah satu bahan baku biofuel) sebagai penyumbang emisi gas N2O yang buruk secara global.

Tapi ini bukan hanya biofuel yang mesti disalahkan. Laporan ICSU menyarankan emisi N2O secara umum mungkin lebih penting daripada yang telah disadari. Studi yang pernah dilakukan sebelumnya, termasuk yang dilakukan oleh International Panel on Climate Change (IPCC), badan ahli yang ditunjuk PBB, mungkin telah salah menghitung dampak signifikansinya—dan menurut Adrian Williams dari Cranfield University, di Inggris, bahkan pendekatan IPCC menyebutkan bahwa penyebab pemanasan global dari kebanyakan wilayah pertanian Inggris didominasi oleh emisi N2O.

Isu yang lebih luas, karena itu, adalah bagaimana manusia telah membajak “siklus nitrogen”, sebagai bagian dari keluar-masuknya gas itu ke dalam atmosfir, untuk penggunaan sendiri. Alan Townsend, dari University of Colorado, Boulder, adalah salah satu dari mereka yang mencoba mengkalkulasi bertambahnya perubahan ini. Yang sepertinya menunjukkan bahwa siklus nitrogen berubah makin cepat dan lebih mendalam daripada siklus karbon, ini membuatnya lebih menarik untuk diperhatikan.

Dr Townsend, dan beberapa yang terlibat dalam apa yang disebut sebagai International Nitrogen Initiative, bertemu di Paris untuk mencoba mengorganisir sebuah assessment internasional tentang apa yang sedang terjadi. Ini akan mencermati nitrogen sebagaimana IPCC mempelajari karbon. Untuk beberapa orang, kekhawatiran perihal nitrogen ini tak diragukan lagi bakal tak lebih dari sekadar suara nyaring dari seruan lingkungan. Tapi, kasus biofuel menunjukkan bahwa tanpa pertimbangan yang memadai pada seluruh gas rumah kaca, tak hanya CO2, terlalu mudah untuk menjerumuskan pada metode yang mahal dalam mitigasi yang sesungguhnya memperburuk keadaan.

Artikel ini diterjemahkan dari The Economist Edisi Cetak (8/4 2009), sepertinya menarik untuk ditanggapi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

google918401c9860b4077.html